Paradigma Birokrasi Menuju Good Governance

  • Whatsapp
Bureaucrat in the maze. People stand in a queue. Bureaucracy concept. Flat 3d vector isometric illustration

 

PERGESERAN paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari “rule government” menjadi “good governance”, dari sentralistis ke desentralistis, dan dinamika tumbuh-kembangnya masyarakat ke arah “empowering”, perlu disikapi dan diimbangi dengan birokrasi publik terutama aparatur yang memiliki kompetensi dan profesional. Kompetensi dan profesional ini berkaitan dengan kemampuan aparatur pemerintah berupa pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya. Paradigma birokrasi yang pertama dan utama yang harus diubah adalah kualifikasi pimpinan yang profesional dan berkualitas. Adapun kualifikasi pimpinan yang diharapkan adalah sebagai berikut :

Pertama, para pemimpin dalam birokrasi pemerintah harus berakhlak bersih dan tidak cacat moral. Pemimpin yang bermoral dan berakhlak ditandai dengan kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta, dan bersih pergaulan sosial.

Kedua, para pemimpin dalam birokrasi pemerintah harus memiliki visi ke depan. Visi tersebut mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala nasional maupun global. Para pemimpin akan mampu menjangkau atau melihat ke depan organisasinya manakala mereka memiliki pengetahuan, wawasan, dan pandangan ke depan yang luas. Pemimpin  yang memiliki visi ke depan harus tahu akan dibawa ke mana organisasi dan tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Jika ada seorang pemimpin ditanya “apa program kerja saudara”, dan menjawab “saya baru diangkat belum mempelajarinya, jadi belum tahu apa program saya”, maka tipe pemimpin ini bukanlah tipe pemimpin yang memiliki visi ke depan.

Ketiga, para pemimpin dalam birokrasi pemerintah harus bersikap demokratis. Pemimpin yang demokratis adalah pemimpin yang dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, senantiasa melibatkan publik dan keputusan yang dihasilkan substansinya harus berpihak pada kepentingan publik. Bukankah demokrasi itu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (government from the people, by the people, for the people). Pemerintahan dari rakyat  dan oleh rakyat (from the people dan by the people) menuntut setiap proses pembuatan keputusan senantiasa berasal dan melibatkan rakyat. Sementara pemerintahan untuk rakyat menuntut agar hasil keputusan dan pemecahan masalah substansinya senantiasa untuk rakyat atau berpihak pada rakyat.

Keempat, para pemimpin dalam birokrasi pemerintah harus responsibel. Pemimpin yang responsibel adalah pemimpin yang memiliki sense of responsibility and professionally. Pemimpin yang responsibel adalah pemimpin yang memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Artinya, pemimpin yang senantiasa melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab secara “sungguh-sungguh” dan tidak dikerjakan secara “asal-asalan”, baik ada pihak yang mengawasi maupun tidak. Pemimpin yang profesinal adalah pemimpin yang memiliki kompetensi teknis dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Kelima, para pemimpin dalam birokrasi pemerintah harus akuntabel. Pemimpin yang akuntabel adalah pemimpin yang mau dan mampu bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan atau menjawab dan menerangkan kinerja atas sikap, tindakan, perilaku, dan kebijakannya kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sosok seorang pemimpin dikatakan “akuntabel” manakala mereka dapat menjawab dan menjelaskan secara transparan, terbuka, dan jujur atas permasalahan, pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan tindakan apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan kepada publik. Dengan penjelasan secara transparan dan terbuka tadi, masyarakat menjadi tahu tentang apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan, berapa besarnya anggaran yang digunakan, dan bagaimana hasil tindakan tadi.

Keenam, para pemimpin dalam birokrasi pemerintah harus responsif. Pemimpin yang responsif adalah pemimpin yang cepat tanggap dan cepat menanggapi keluhan, masalah, kepentingan, dan aspirasi rakyat yang dipimpinnya.

Ketujuh, para pemimpin dalam birokrasi pemerintah harus adaptif. Pemimpin yang adaptif adalah pemimpin yang mampu dan mau melakukan adaptasi (penyesuaian-penyesuaian) terhadap tuntutan, permasalahan dan lingkungan yang senantiasa berubah. Pemimpin yang adaptif adalah pemimpin yang berjiwa besar, dalam arti mau mengakui kesalahan-kesalahan, kekeliruan, dan ketidaksesuaian kebijakan yang telah mereka ambil dengan lingkungan, situasi, kondisi yang sesungguhnya mereka hadapi. Karena itu, mereka tidak perlu malu untuk melakukan adaptasi kebijakan yang mereka ambil agar sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapinya.

Paradigma penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan layanan masyarakat telah mengalami pergeseran dari rule government menjadi good governance, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, menurut paradigma good governance tidak sekadar bersandar pada peraturan (rule) atau pemerintah (government), tetapi juga perlu melibatkan elemen lain seperti sektor swasta (private sectors) dan masyarakat (civil society). Sementara dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan layanan masyarakat dengan sistem desentralisasi (otonomi daerah) telah terjadi pergeseran atau pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hakikat kebijakan desentralisasi adalah pemerintah berusaha mendekatkan diri dengan rakyat. Dengan kedekatan itu diharapkan pemerintah mampu menemukenali (scanning) dengan baik dan benar tentang apa yang menjadi masalah, keluhan, keinginan, dan aspirasi masyarakat  yang dilayani. Harapannya, kebijakan pemerintah yang dibuat akan dapat mengatasi masalah dan mengakomodasikan apa yang menjadi keluhan, keinginan, dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya.

Sementara itu, pada sisi lain kondisi masyarakat juga telah mengalami pemberdayaan pada dirinya. Dari kondisi kurang atau bahkan tidak berdaya menjadi berdaya, bahkan sangat berdaya. Masyarakat semakin berdaya dalam arti mereka semakin kritis dalam mencermati apa yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah dan para wakilnya. Masyarakat semakin berani mengajukan tuntutan, keluhan, keinginan, dan aspirasi kepada pemerintah maupun kepada wakilnya dilembaga legislatif. Masyarakat juga semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya, oleh karena itu tidak heran jika belakangan ini banyak terjadi suatu tuntutan masyarakat agar pemerintah mampu memberikan pelayanan publik profesional dan berkualitas. Selain itu, paradigma berpikir pun juga mengalami pergeseran, yaitu (1) dari melihat hasil, bergeser melihat proses, (2) dari melihat sebab-akibat (linier) bergeser ke melihat sebab akibat melingkar (multi-kompleks), (3) dari cara berpikir sistematik, bergeser ke cara berpikir sistemik, (4) dari melihat pohon bergeser ke melihat hutan, (5) dari menahan perubahan/kemajuan bergeser ke membawa perubahan/kemajuan.

Menghadapi dinamika masyarakat tersebut dan pergeseran paradigma sebagaimana disebutkan di atas, disamping harus senantiasa “membangun kompetensi” dirinya , birokrasi publik juga harus mau dan mampu mengubah posisi dan peran mereka dalam memberikan layanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dilogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistis pragmatis. Selain itu, birokrasi publik dituntut profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang diamanatkan oleh rakyat kepadanya, utamanya mereka yang menduduki jabatan pimpinan. Mereka harus memiliki kompetensi, bersikap demokratis, responsif, dan adaptif dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya. Terutama, dalam menyikapi perubahan lingkungan, tuntutan, aspirasi, dan kepentingan yang senantiasa mengalami pertumbuhan dan perkembangan di masyarakat.

Perubahan paradigma yang berorientasi pada terwujudnya good governance dapat berjalan dengan baik apabila mekanisme demokrasi sebagai sistem yang melandasi partisipasi dan dapat mendorong adanya jaminan kepastiaan hukum dan rasa keadilan terhadap suatu kebijakan publik. Untuk menerapkan konsep atau paradigma good governance tersebut, UNDP (United Nation Development Programme) mengemukakan 9 (sembilan) karakteristik good governance, yaitu : (1). Partisipasi (participation), (2). Kepastian hukum (rule of law), (3). Transparansi (tranparency), (4). Tanggung jawab (Responsiveness), (5). Berorientasi pada kesepakatan (consensus orientation), (6). Keadilan (equity), (7). Efekvitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency), (8). Akuntabilitas (accountability), dan (9). Visi strategik (strategic vision).

Ada 5 (lima) hal yang perlu diupayakan untuk menggambarkan sejauh mana perubahan menuju good governance terjadi di daerah, yaitu (1). Upaya merampingkan organisasi dalam pemerintahan menuju kepada birokrasi yang lebih efisien, (2). Upaya memberikan insentif terhadap prestasi, (3). Upaya memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, (4) Upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan (5). Upaya mendorong partisispasi publik.***

Pos terkait