PALU EKSPRES, PALU – Di tengah keriuhan sosial media, lembaga adat ternyata cukup mampu memerlihatkan eksistensinya. Lembaga yang di dalamnya, diisi orang-orang sepuh dengan kearifan di atas rata-rata, tidak terlihat gagap merespons dinamika, di mana pemicunya adalah presure media sosial yang masif.
Kuatnya tekanan di media sosial yang diikuti aksi massa, memberi kontribusi signifikan hingga akhirnya kasus ini harus bermuara di tangan para tokoh adat Kamalisi.
Ketua Umum PB PMII Aminudin Ma’ruf, akhirnya menjalani proses hukum adat sebagai konsekwensi atas pernyataannya yang menyulut komentar banyak pihak.
Di tangan para tokoh-tokoh arif itulah, nasib Ketua Umum PB PMII Aminudin Ma’ruf yang keliru memilih kata, dengan menyebut Tanah Tadulako sebagai episentrum radikalisme, bisa diselesaikan dengan elegan, demokratis dan bersahaja.
Mengenakan lengan pendek dan celana krem dipadu kopiah hitam, Aminudin Ma’ruf tiba di rumah adat Bantaya-Kelurahan Balaroa, pukul 09.30. Ia ditemani seniornya di PMII Sulteng, Sahran Raden yang saat ini menjabat Ketua KPU Sulteng. Turun dari mobil, ia menuju ke salah satu tokoh adat meraih tangan dan menciumnya, bercakap sebentar kemudian masuk menuju bagian dalam bangunan berdinding papan.
Tidak ada kursi atau meja di dalam ruangan berukuran sekira 6 x 10 meter itu. Di beberapa sudut teronggok properti untuk prosesi adat. Di tengah ruangan tergantung lunglai janur yang mengering. Beberapa orang berbisik, mencari kejelasan makna simbol yang terkandung disejumlah properti bernuansa antik itu.
Tidak ada deskripsi yang bisa mengonfirmasi fungsi dari barang-barang ini. Libu Nu Ada (pertemuan adat) yang dijadwalkan berlangsung pukul 09.00 molor hingga 10.00 karena pihak tosala (tersalah/terlapor) keliru membawa piring sebagai salah satu givu (denda) yang harus dibayarkan bersama tiga ekor kambing.