Agama Jadi Alat Politik, Pelaku Bom Bunuh Diri Gampang Direkrut

  • Whatsapp

PALU EKSPRES, JAKARTA – Aksi bom bunuh diri terjadi di Halte Transjakarta Terminal Bus Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam.

Ali Fauzi, mantan kombatan, mengatakan, informasi yang didapatkannya menyebutkan, tidak sulit mencari orang yang mau menjadi pengantin bom bunuh diri.

Bacaan Lainnya

Untuk itu, dia meminta pemerintah benar-benar melakukan program deradikalisasi dengan baik. Selain itu, dia merasa bahwa di Indonesia kini agama juga sudah menjadi alat politik.

”Ini yang membuat situasi lebih buruk,” tandas adik kandung Amrozi dan Ali Imron, dua terpidana mati kasus bom Bali, tersebut.

Kemudian, soal penyerbuan kelompok bersenjata ke Marawi (Filipinan), bagi Ali itu bukan hal yang mengejutkan. Itu menunjukkan sebuah klimaks dari banyak hal.

”Yang pertama harus diingat, Mindanao itu penuh dengan kelompok bersenjata,” katanya.

Dari catatan Jawa Pos, setidaknya ada empat kelompok bersenjata yang paling dominan di sana. Yang pertama dan terbesar adalah MILF (Moro Islamic Liberation Front) bentukan almarhum Ustad Hashim Salamat.

Yang kedua adalah MNLF (Moro National Liberation Front) yang masih dipimpin jagoan gaek Nur Misuari. MNLF pernah menyandera Kota Zamboanga beberapa tahun lalu dan kini masih bersembunyi di kawasan hutan di Sulu.

Yang ketiga adalah Abu Sayyaf. Kelompok tersebut lebih berkiblat sebagai kelompok jihad global. Yang terakhir dan yang makin kecil adalah NPA (New People’s Army), sayap militer kelompok komunis.

Dalam tujuh tahun terakhir, anggota empat kelompok itu bergerak dinamis. Meski awalnya mesra, lalu pecah dan secara resmi masih berperang, anggota dua kelompok tersebut (MILF dan MNLF) makin cair.

”Jadi, di lapangan, yang bawahan ini saling menjalin persahabatan. Terutama jika bertemu dalam kepentingan,” papar pria yang kini menjadi ketua Yayasan Lingkar Perdamaian itu.

Dari informasi yang terakhir didengarnya, MILF pun terpecah. Terutama setelah MILF resmi berdamai dengan pemerintah Filipina untuk membentuk otonomi daerah.

”Ada sejumlah faksi yang menyatakan perdamaian itu sama saja dengan kekalahan,” katanya.

Faksi-faksi itulah yang kemudian bergabung dengan kelompok militan Abu Sayyaf. Gabungan dua kekuatan itulah yang kemudian menjadi pelaku penyerbuan Marawi.

Pos terkait