FOTO BERSAMA – Sri Sultan Hamengkubuwono ke X didampingi Wakil Gubernur Sulteng H Sudarto foto bersama dengan warga Jawa di Kota Palu, Sabtu 17 Oktober 2015.
PALU,PE- Sri Sultan Hamengkubwono X berpendapat bahwa budaya peradaban yang dianut masyarakat Indonesia saat ini terpengaruh budaya kontinental yang mengedepankan integritas dari sisi mayoritas-minoritas serta material.
“Masa orde baru itu mengarahkan kita ke kontinental. Nah kalau bicara kontinental, itu akan berbicara minoritas dan mayoritas,” kata Sultan di sela-sela malam ramah tamah, bersama Wakil Gubernur Sulteng, Sabtu 17 Oktober 2015 di Mercure Hotel Palu.
Budaya kontinental menurut Sultan memengaruhi sendi kehidupan peradaban budaya lokal yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa ini. Budaya itu membawa peradaban tidak lagi pada budaya saling menghargai antar sesama.
Trend kontinental, menurut Sultan akan banyak bicara soal pertumbuhan-pertumbuhan. Ketika pembahasannya soal pertumbuhan ukurannya pun jelas yaitu semua bisa ditawar termasuk integritas diri.
“Saya pun pada ahkirnya nanti juga akan ditawar dengan sejumlah duit. Seseorang akhirnya makin dihargai dengan uang, bukan integritas. Masukan saya ini dibangun seperti itu. Itulah kenapa kita harus kembali ke kearifan lokal yang dasarnya menghargai sesama karena egaliter itu,”terangnya.
Sebetulanya kata Sultan, budaya masyarakat etnis di Indonesia telah dibangun oleh leluhurnya dalam filosofi tradisi budaya egaliter (Bersifat sama, sederajat) yang dipraktekkan melalui budaya bahari. Egaliter menurutnya adalah kearifan lokal masyarakat di Indonesia yang tidak melihat integritas bangsa dari asal usul, ras serta agama. ”Dalam konteks bahari semua itu sama. Asal usul, agama tidak dipertanyakan karena kehidupan didasari egaliter kebersamaan. Dan sebetulnya konstitusi kita inikan juga egaliter. Itu ada dalam Pancasila, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika sebagai strategi integrasi bangsa Itu sebetulnya budaya bahari gitu loh,”ucap Sultan kepada Palu Ekspres.
Identitas bahari itu menurut Sultan, hampir ada diseluruh daerah termasuk Sulteng. Makanya kata Sultan, sekarang bagaimana pemerintah bersama masyarakat mendorong kembali kearifan lokal itu menjadi pijakan untuk membangun masa depan. ”Jadi kita bukan hanya ngomong berorientasi pada pertumbuhan-pertumbuhan, tapi masyarakat tidak pernah dididik soal peradaban bahari,” sebutnya.
Baru saat ini budaya bahari itu kembali coba dihidupkan oleh pemerintah. Namun katanya, masyarakat sudah terlanjur sekian puluh tahun berpikiran kontinental. Kondisi itu lanjut Sultang turut memengaruhi proses perencanaan pembangunan negara.
Sultan mencontohkan soal pendidikan kebaharian. Masyarakat dari bagian Timur Indonesia ingin melanjutkan sekolah ke Jawa tentang bahari. Namun di Pulau Jawa tak ada perguruan tinggi yang mengajarkan itu, yang ada justru perguruan dengan kurikulum pendidikan pertambangan.
“Akhirnya kita tidak ngomong produk laut tapi tambang, sama saja dengan yang di Jawa, iya kan?. Mereka begitu pulang dari Jawa menjadi pegawai negeri, akhirnya perencanaan pembangunan sama juga dengan yang di Jawa. Karena apa, sekarang kalau kita bicara bahari dalam konteks kurikulum perguruan tinggi dan sebagainya, itu juga harus berubah. Kita harus kembali ke kearifan lokal kita,”Demikian Sultan.
Kunjungan Sri Sultan Hamengkubuwono X di Kota Palu Sulteng untuk menghadiri sejumlah undangan. Diantaranya undangan dari Kerukunan Keluarga Jawa Sulawesi Tengah (KKJST) untuk peletakan batu pertama pembangunan asrama pelajar dan mahasiswa Jawa pada Sabtu 17 Oktober 2015 di Kecamatan Mantikulore Palu. Sebelumnya, istri Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang merupakan Wakil Ketua DPD-RI juga datang dalam rangka penjaringan aspirasi di wilayah Sulteng terkait kemaritiman Indonesia.(mdi)