PALU EKSPRES, PALU – Teknologi virtual telah membawa perubahan besar dalam peradaban manusia. Teknologi nirkabel ini bahkan menjadikan pelataran bumi seperti small village (kampung besar) dimana tak ada lagi sekat antarbangsa yang menghalanginya.
Koneksi antarindividu akan dengan sangat mudah dilakukan dalam hitungan detik justru pada saat kita berada di titik paling sepi di kolong langit ini. Jamaknya kehadiran sebuah teknologi, ia bagai dua sisi mata uang.
Bisa membawa keberkahan di satu sisi dan membawa malapetaka di sisi lain. Di titik ini pemerintah dinilai kehilangan kemampuan bagaimana menjadikan teknologi bisa memberi nilai tambah terhadap kehidupan warganya.
Alih-alih memaksimalkan nilai tambah teknologi media sosial untuk menerabas kejumudan berfikir masyarakat, pemerintah dianggap memilih jalan pintas memberangus kreatifitas warganya yang ingin mengambil berkah berlimpah dari kehadiran teknologi informasi khususnya media sosial tersebut.
Tiga hari terakhir pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengejutkan publik dengan kebijakan akan memblokir aplikasi pesan instan Telegram.
Langkah refresif pemerintah terhadap Telegram konon dipicu aplikasi asal Rusia tersebut menjadi media favorit pengusung faham radikal menyebarkan gagasanna.
Namun langkah pemerintah itu dianggap gegabah, grasa grusu dan tidak mempertimbangkan kelompok masyarakat lain yang menjadikan media sosial sebagai medium berkreasi. Generasi milenial adalah kelompok yang paling terpukul jika pemerintah meneruskan kebijakan refresif tersebut.
Kelompok ini kadung nyaman dengan kehadiran media sosial bukan sekadar medium untuk celoteh tanpa makna. Tapi menjadi sarana menumbuhkan semangat enterptreneur di tengah ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang memadai di negeri ini.