AKHIR September 2015, program Pembangunan Abad Millennium (MDGs) secara resmi dianggap berakhir. Melalui Sidang PBB di New York, AS yang dihadiri wakil-wakil dari 193 negara anggota sepakat melanjutkan MDGs melalui program Sustainable Development Goals (SDGs) untuk masa limabelas tahun mendatang. Pembangunan global dengan sasaran yang lebih komprehensif ini menempatkan pengentasan kemiskinan dan bebas dari kelaparan sebagai sasaran utama. Sehingga, pada tahun 2030 penduduk dunia diharapkan bebas sama sekali dari kemiskinan dan kelaparan. Angka kemiskinan dan kelaparan pun diharapkan sama dengan nol.
Dalam pelaksanaan MDGs, komitmen politik sering dianggap basa-basi karena setiap kabupaten dan kota merasa sudah melaksanakan pesan konsensus PBB tersebut. Sebut saja, tidak ada satu pemerintah di dunia ini yang belum mengusahakan upaya mendidik anak-anak usia sekolahnya. Tidak ada satu negara pun yang tidak menyediakan pelayanan kesehatan. Tidak ada satu negara pun yang tidak mengusahakan pelayanan bisnis untuk rakyatnya. Alhasil, pesan MDGs dianggap sebagai catatan yang tidak banyak gunanya untuk suatu negara yang memiliki target pembangunan sendiri.
Salah kaprah seperti ini berlaku kalau kita turun ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tidak satu pun provinsi atau kabupaten/kota yang tidak memberi perhatian terhadap komponen yang disebutkan dalam arahan MDGs itu. Bedanya adalah bahwa arahan MDGs itu tidak dibaca menurut prioritas yang dicanangkannya. Karena diberikan prioritas pada keluarga miskin, maka sesungguhnya keluarga miskin dengan seluruh anak dan cucunya harus mendapat perhatian yang tinggi.
Begitu juga ukurannya tidak pada besarnya proyek pendidikan atau proyek kesehatan, tetapi diukur dari partisipasi dan kesempatan yang dinikmati penduduk dalam berbagai bidang yang dijadikan prioritas tersebut. Akibatnya, negara-negara yang ngotot tidak mau memerinci target MDGs itu tidak mengalami kemajuan dalam ukuran IPM atau bahkan makin mundur karena banyak negara berusaha meningkatkan kegiatan dan otomatis meningkat nilai IPMnya.
Indonesia termasuk negara yang kurang memberi perhatian kepada sasaran dan target MDGs sehingga selama masa pembangunan MDGs, lima belas tahun terakhir ini, ukuran keberhasilan dalam pengentasan kemiskinan tidak banyak beranjak dari sekitar 11-12 persen, dalam bidang kesehatan yang diukur dari angka kematian ibu hamil dan melahirkan justru meningkat dari sekitar 220 per 100.000 menjadi 359 per 100.000.
Angka kelahiran yang sempat menurun dari 5,6 anak menjadi 2,3 anak naik lagi menjadi lebih dari 2,7 anak. Secara global keberhasilan pembangunan abad Millennium juga sangat variatif. Banyak negara mencapai target MDGs, namun banyak pula yang masih mengalami kendala untuk mencapai target pada akhir tahun ini. Bahkan disinyalir pencapaian target bersifat semu, misalnya, berkat keberhasilan pembangunan ekonomi di China, angka kemiskinan di negara berkembang dapat diturunkan separonya.
Kegagalan pencapaian target MDGs tidak menjadi halangan bagi para kepala negara dan ahli-ahli di seluruh dunia untuk menetapkan sasaran dan target baru bagi pembangunan global dalam limabelas tahun mendatang. Kekurangan yang dilihat dalam limabelas tahun terakhir ini diharapkan menjadi cambuk untuk memperbaiki prinsip utama, sasaran dan target serta implementasi dari berbagai paket pembangunan yang dirumuskan dan ditawarkan kepada negara anggota PBB. Salah satu kelemahannya adalah bahwa upaya meningkatkan nilai IPM ternyata menggerogoti sumber daya alam (SDA).
Pertumbuhan dan kenaikan konsumsi penduduk atas SDA tidak seimbang dibandingkan dengan upaya melestarikan kekayaan bumi, lebih-lebih dengan adanya fenomena perubahan iklim.
Pilihan prioritas utama pada pengentasan kemiskinan tidak dilihat dan diselesaikan secara komprehensif oleh seluruh sasaran dengan target-targetnya. Akibatnya, bisa saja ada kemajuan dalam berbagai bidang tetapi tidak menolong upaya pengentasan kemiskinan karena keluarga miskin yang miskin pengetahuan, jauh dari upaya pendidikan dan kursus-kursus ketrampilan tersisih dari partisipasi dalam pembangunan.
Karena itu, keluarga miskin tidak bisa ikut menikmati keberhasilan dan kemajuan teknologi, ekonomi serta tetap harus berjuang dengan keadaan alam sekitar yang digerus dengan pembangunan maha dahsyat sehingga tidak mampu lagi menopang kehidupan ekonomi tradisional andalannya. Sawah dan hutan subur berubah menjadi pusat industri sehingga kehidupan tradisional penghuni sekitar hutan dan penduduk miskin penggarap sawah kehilangan mata pencariannya. Penduduk miskin itu tidak selalu siap berubah menjadi karyawan pabrik karena tingkat pendidikannya yang rendah.
Melalui SDGs kita harus pandai membaca dan mengembangkan strategi operasional yang memberi kesempatan yang lebih banyak kepada keluarga miskin, keluarga dengan tingkat pendidikan dan konsisi sosial ekonomi rendah untuk lebih dulu diberi kesempatan dan menikmati partisipasi dalam pembangunan melalui pemberdayaan. Prioritas kecukupan pangan perlu digarap dengan mengembangkan ‘kebun bergizi’ di setiap halaman rumah lengkap dengan sayur, makanan pokok, unggas dan perikanan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan meluber menjadi komoditas laku jual dan untung.
Keluarga kaya yang memiliki lahan, yang sebagian dibuat melalui pengorbanan lahan sawah yang subur, harus merelakan lahannya menjadi kebun bergizi yang diolah bersama keluarga kurang mampu tetangganya sehingga mereka bisa menghasilkan pangan yang lebih murah karena dibagi hasil dengan penggarapnya. Keluarga mampu harus dengan senang hati berbaik membeli produk keluarga kurang mampu sehingga keuntungan mereka bisa menjadi panjatan dalam mewujudkan keluarga yang lebih sejahtera dan mandiri. Kalau ini semua terjadi, dan dijamin pemerintah yang peduli dan akuntable seperti dipesankan SDGs, target tahun 2030 bisa tercapai. ***