PERS DAN PILKADA. Hadir dalam diskusi (kiri ke kanan) CEO Fajar Holding, H Syamsu Nur, Yoseph Stanley Adi Prasetyo, Prof Bagir Manan dan Pemimpin Redaksi Fajar Koran, H Uslimin. Andi Anita Anggriany Amier/PE
Diskusi antara Direksi Fajar Group dan Ketua Dewan Pers Indonesia
“DI NEGARA modern, partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah, sangat rendah. Mengapa? Karena masyarakatnya di sana yakin, siapapun yang akan terpilih kepentingan mereka sebagai warga akan tetap diperhatikan. Nah, bagaimana dengan kita di Indonesia…? ”
Andi Anita Anggriany Amier, Palu Sulteng
PERNYATAAN menggantung yang disampaikan oleh Prof Bagir Manan, Ketua Dewan Pers disambut gelak tawa oleh CEO Fajar Holding, H Syamsu Nur dan sejumlah direktur serta Pemimpin Redaksi dari beberapa media dari Media Fajar Group. Tentu kita tahu kemana arah pernyataan itu ketika berbicara realitas hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah atau biasa di singkat Pilkada yang telah berlangsung beberapa tahun belakangan di negeri tercinta ini.
Padahal, kata mantan Ketua Mahkamah Agung RI Indonesia ini, semestinya, pilkada atau juga pemilukada di Indonesia ini menjadi pembelajaran kedewasaan berdemokrasi pada masyarakat seperti yang diharapkan ketika ide pilkada langsung ini ditawarkan oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie . Alih-alih seperti yang diharapkan, yang terjadi malah gontok-gontokkan antar warga yang terpecah gara-gara berbeda kandidatnya.
Belum lagi bila calon kepala daerah yang ikut dalam kontestasi pemilukada tidak sesuai dengan “standar” seorang pemimpin yang baik. Misalnya, punya komitmen menjaga kedamaian dalam masyarakat, memiliki visi dan misi serta program yang memajukan daerahnya, serta tulus ikhlas membangun daerahnya. Maka pilkada jauh dari unsur ajang pendidikan politik.
“Kami benar-benar tertarik dengan ide Pak Habibie saat itu, karena untuk memberi hak kepada warga negara menggunakan suaranya, freedom of choices,” tutur Prof Bagir Manan dalam kegiatan diskusi santai antara Dewan Pers dan direksi serta pemimpin redaksi PT Media Fajar Group di Makassar, di Ruang Pertemuan PT Media Fajar Koran di Graha Pena, Makassar, pekan lalu, 26 Oktober 2015.
Namun ternyata seperti pepatah “Jauh Panggang dari Api”. Antara kenyataan dan harapan tak sesuai. “Masyarakat kita belum siap,” lirih suara Prof Bagir Manan. Ini realitas dari sisi masyarakat.
Lain pula realitas dari sisi kandidat. Yoseph Stanley Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers menambahkan, tak sedikit calon kepala daerah yang ikut pilkada memiliki rekam jejak jelek.
“Biasanya, kalau bukan berlatar belakang politisi busuk, maka mereka pengusaha “hitam” yang punya banyak uang untuk ikut,” tandas Stanley. Asumsi ini lahir karena adanya bukti begitu banyak kepala daerah yang lahir dari pemilihan langsung pada akhirnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kepentingan rakyat ditaruh dimana?,” gugatnya.
Nah, pada kondisi ini di mana pers harusnya bersikap ? Pemilihan langsung dengan masyarakat yang tak siap? Lalu, Pilkada dengan persoalan oknum calon kepala daerah yang tak baik untuk menjadi calon pemimpin?
Sementara itu di pilkada 2015, media mengalami “pengebirian” akibat banyaknya aturan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Mulai dari persoalan pemberitaan, iklan kampanye maupun iklan secara pribadi yang dilarang dimuat. Media pun tak boleh membuat kesepakatan pemberitaan dengan kandidat yang ikut bertarung dengan dalih khawatir seperti peristiwa Pemilihan Presiden RI yang ke tujuh dimana ada media besar yang melakukan pelanggaran penyiaran. Khawatir kandidat yang memiliki uang banyak akan bisa membayar media. Dan berbagai dalih lain.
“Para pembuat undang-undang itu lupa, bahwa media pun punya karyawan yang harus digaji dan hidup dari iklan dan koran,” tandas Direktur Rakyat Susel, Buyung Maksum. Karena aturan-aturan itu berimplikasi kepada segala hal yang termasuk kegiatan ekonomis perusahaan media. Contoh. “Kami ditampik ketika menawarkan iklan ucapan hari raya besar keagamaan, meskipun di dalamnya tak memuat simbol dan tanda-tanda gambar kandidat. Hanya sekadar ucapan selamat. Karena kandidat sendiri khawatir ini akan melanggar PKPU,” tandas penulis. Itu baru satu persoalan.
Ya, wartawan dan media itu, seolah-olah malaikat yang hidup dan makan dengan idealismenya. Dilupakan sebagai kepala rumah tangga atau perempuan bekerja yang juga menghidupi anak dan keluarganya. Lalu, oleh etika jurnalistik, Media harus menjadi wasit dalam pertarungan pemilihan kepala daerah itu. Bagir sendiri tak menyangka begitu banyak persoalan media yang mencuat pada pilkada tahun 2015 yang beriringan dengan keterpurukan ekonomi negara.
Namun demikian, Media tetap harus bersikap. Bagir menandaskan, media boleh menyatakan sikap kepada salah satu kandidat yang diyakini paling baik di antara kandidat. Apalagi ketika diperhadapkan pada pilihan kandidat dengan rekam jejak yang hitam kelam, atau politisi busuk.
Di Amerika, bapaknya demokrasi dunia, keberpihakan media sudah lumrah. Pilpres menjadi contoh keberpihakan media terhadap kandidat presiden Indonesia. Ada media nasional berbahasa inggris dalam editorialnya dengan jelas dan lugas menyatakan sikap keberpihakan kepada kandidat yang diyakininya baik.
Kata Bagir, “Pers tidak apa-apa membandingkan antara calon yang ada. Asal tidak fitnah dan mencemarkan nama baik yang bersangkutan,” tandas Bagir Manan. Kecenderungan pasti ada. Namun Bagir menegaskan itu tidak salah asal tidak melewati batas-batas normal jurnalistik. Yang pasti kata Bagir tugas pers bukan menjadi bagian dari masalah, tetapi bagaimana ikut memberikan solusi pada masyarakat. Wajar saja bila ada kecenderungan untuk adanya tensi yang tinggi dan tegang. Tetapi jangan sampai mencederai.
Pada porsi ini, menurut penulis, bukan hanya tugas media menjaga agar pilkada berjalan dinamis, tegang, tetapi tidak mencedarai apalagi berkonflik. Para kandidatlah yang wajib menjadi pembawa pesan damai dalam sikap maupun pemikiran-pemikiran yang disampaikan kepada para simpatisan baik secara internal maupun saat berkampanye.
Bahwa pilkada harusnya menjadikan masyarakat dewasa menyikapi perbedaan. Bukannya memberi ruang bagi simpatisan untuk saling mencederai secara lisan maupun tindakan. Pertanyaannya, mampukah kandidat gubernur Sulteng serta kandidat walikota Palu, serta kandidat kepala daerah yang lain di Sulteng ini, menjaga sikap dewasa dan berakhlak ini ? Mari kita tunggu hingga pengalihan kekuasaan kepala daerah pada tahun 2016. (***)