Masuknya Muhamadiyah di Kota Palu dan Sulawesi Tengah, panjang dan berliku. Banyak tantangannya. Ini penuturan Mantan Ketua Muhamadiyah Syamsudin Hi Halid, yang pernah ditemui di kediamannya.
MUNGKIN tidak banyak tahu, jika masuknya Muhammadiyah di Sulawesi Tengah, dibawa oleh seorang tokoh besar nasional, Buya Hamka. Beliau adalah mantan ketua PP Muhammadiyah seorang ulama besar asal Padang Sumatera Barat. Buya Hamka adalah seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang tersohor dan dihormati di kawasan Asia.
Hamka adalah akronim dari namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981.
Dialah yang memperkenalkan dakwah Muhammadiyah tepatnya pada 1930 silam di Lembah Palu. Menurut Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Tengah Syamsudin Hi Halid, saat itu, Buya Hamka masih menjadi koordinator Muhammadiyah wilayah Indonesia Timur.
Di Sulawesi Tengah, daerah yang menjadi basis gerakan dakwah adalah Desa Wani – Kabupaten Donggala yang masuk dari arah Gorontalo. Kala itu para mubalig dari Jogja menyelenggarakan pendidikan sebagai media dakwah. Menjelang tahun 1960-an datang gelombang warga Minang yang di tanah kelahirannya telah menjadi pengikut Muhammadiyah. Salah satu dari warga Minang itu bahkan menjadi kepala kantor Urusan Agama di Kabupaten Donggala.
Kemudian ada juga tokoh dari Provinsi tetangga Gorontalo dan Sulawesi Selatan (Bugis) yang membawa Muhammadiyah ke Sulawesi Tengah. Dalam perkembangannya, gerakan yang dikenal dengan pemberantasan tahyul, bid’ah dan khurafat pada tahun 70-an seolah mendapat angin segar, walau resistensi dari internal umat Islam sendiri cukup terasa. Mereka yang datang dari Gorontalo dan Sulsel berhasil membuat wajah Muhammadiyah lebih familiar terhadap warga. Perlahan dan pasti, gerakan ini akhirnya bisa diterima oleh warga.
Sebenarnya gerakan dakwah mulai tertata pada 1965, yang ditandai hadirnya sistem pengaderan Muhammadiyah yang dimotori oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Bersama dengan para tokoh-tokoh Muhammadiyah dari luar daerah, dakwah makin diterima.
‘’Dari IMM inilah lahir bibit-bibit kader Muhammadiyah yang kemudian menjadikan Muhammadiyah seperti yang kita lihat sekarang ini. Saya juga termasuk yang dikader di wadah ini saat itu,’’ katanya.