Lima Bulan Hidayat-Sigit
PALU, PE – Lima bulan pasca dilantik, pasangan Hidayat-Sigit terus ngebut membenahi bengkalai kota. Banyak masalah perkotaan yang menjadi pekerjaan rumah pasangan yang dilantik 17 Februari 2016 lalu itu. Sejumlah pihak menyoroti pasangan walikota dan wakilnya, dianggap belum memperlihatkan kinerja menjanjikan sejak dilantik. Setumpuk masalah masih menjadi problem serius, belum mendapat jalan keluar entah sampai kapan. Di media sosial maupun pada sejumlah diskusi informal, sinisme publik kerap terdengar. Mereka tak puas dengan performance walikota dan wakilnya memimpin kota berpenduduk hampir 400 ribu jiwa ini.
Asrul Rahman (33) pengusaha konstruksi yang pernah mengurus izin di Pemkot mengaku birokrasi perizinan yang masih rumit. Sekalipun sistemnya sudah baik namun mental pengelolanya masih bermasalah. Masalah lainnya soal perparkiran. Di tengah managemen perparkiran yang semrawut muncul wacana pemerintah menaikkan tarif parkir.
Konon ini sebagai alat paksa agar warga beralih ke model parkir berlangganan. Kebijakan ini banyak dicibir di linimasa sejumlah media sosial. Melihat kesemrawutan dan mentalitas juru parkir, tawaran parkir berlangganan disebut tak cukup efektif. Selanjutnya masalah pasar tumpah. Ini telah menjadi pemandangan jamak, ketika badan jalan disesaki warga yang berbelanja kebutuhan rumah. Mereka ikut berkontribusi bahkan telah menciptakan kemacetan di sejumlah ruas jalan.
Tak terhitung, berapa kali petugas Pol PP turun menertibkan pasar tumpah ini tak kunjung membuahkan hasil. Keberadaan Pol PP tampak tidak efektif memainkan tupoksinya sebagai ujung tombak pemerintah menegakan peraturan daerah. Konon, sejumlah oknum ini ”main mata” dengan pedagang, menyebabkan jumlah pasar tumpah terus bermunculan di segala sudut kota. Wartawan Palu Ekspres yang ngepos di DPRD Palu pernah menerima curhatan dari ibu-ibu pelaku pasar tumpah ini.
Para ibu ibu ini mengaku menyetor dalam jumlah tertentu agar usahanya tetap lolos dari jerat razia. Ini ironis karena pada saat yang bersamaan banyak bangunan pasar milik pemerintah yang kosong melompong, terbengkalai, tidak termanfaatkan. Belum lagi soal sampah. Namun warisan turun temurun ini secara perlahan mulai menemui solusinya ketika pemerintah mengambil kebijakan – agar masalah sampah cukup diselesaikan di tingkat kelurahan. Masih banyak persoalan publik lainnya yang membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat.
Namun di antara problem akut perkotaan tersebut, warga Palu khususnya para orang tua tersenyum semringah, ketika Walikota Palu Hidayat mengharamkan sekolah mengambil sepeserpun dari kantong orang tua saat penerimaan murid baru. Hidayat sendiri saat halal bihalal dengan relawan pendukungnya di kediamannya belum lama ini, sempat menyentil kebijakan populisnya ini.
”Saya tidak bisa memberikan kalian uang tunai, tapi saya bisa memberikan warga kota dengan kebijakan yang pro poor. Salah satunya soal ini. (larangan pungutan),”. Sekalipun mengharamkan pungutan, Hidayat tetap membuka peluang sumbangan dari pihak orang tua kepada sekolah. Alasannya, ada aturan yang memungkinkan adanya sumbangan. Syaratnya, besaran sumbangan tidak boleh ditentukan. Tetapi harus berdasarkan kemampuan dan kemanisan hati. (Palu Eskpres 11 Juli 2016).
Hal lainnya yang patut diapresiasi adalah sikap Pemkot yang sejalan dengan Gubernur Sulteng, menyetop sementara penimbunan Pantai Talise. Di titik ini pemerintah memilih seirama dengan rekomendasi warga yang memilihnya. Apresiasi yang tinggi patut disematkan pada pasangan birokrat dan seniman ini. Merasionalisasi anggaran di setiap satuan kerja perangkat daerah. Telah menjadi rahasia umum, bahwa desain anggaran lebih banyak diarahkan untuk membiayai program rutin birokrasi daripada kegiatan yang berkorelasi dengan kepentingan publik.
Untuk kepentinhan ini, Hidayat lalu melibatkan sejumlah pihak yang tergabung dalam tim pendamping. Mereka adalah figur ”independen” yang berasal dari kalangan, pegiat LSM, jurnalis dan mantan tim sukses serta akademisi. Tugasnya, menyortir dan merasionalisasi anggaran yang dianggap tidak perlu. Lalu diarahkan pada kegiatan yang pro publik. Seperti yang diungkapkan Adha Nadjamudin, salah satu tim pendamping yang mendampingi walikota mengidentifikasi sejumlah permasalahan di kota ini.
Menurut Adha, banyak bengkalai yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Adha sendiri kebagian melakukan investigasi sejumlah aset kota, seperti pengelolaan managemen Pasar Inpres dibawa bendera PT Sari Dewi Membangun dan potensi PAD bilboard. Keberadaan tim pendamping ungkap Wartawan LKBN Antara ini sebagai pendamping untuk memastikan bahwa program SKPD seiring sejalan dengan visi misi walikota. ”itu saja tidak lebih,” ungkap Ketua GP Anshor Sulawesi Tengah ini. Ragam masalah ini ungkap Adha harus dicarikan solusinya, hingga bisa berkontribusi terhadap pembangunan kota, tidak justru menjadi bagian dari permasalahan kota. (tim)