Melawat ke Negara Cokelat, Merentang Jembatan Perdagangan dan Investasi

  • Whatsapp

BERBINCANG AKRAB – Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola sesaat sebelum pertemuan bisnis di Wisma Indonesia di Bern berbincang dengan Duta Besar Indonesia untuk negara di wilayah Switzerland, Linggawaty Hakim. (Foto: Courtessy of Richard Djanggola)
Laporan: Longki Djanggola (Gubernur Sulawesi Tengah)

SEBAGIAN besar anak-anak remaja kita dan juga orang dewasa bisa jadi pernah menonton film Charlie and the Chocolate Factory?! Film beraroma Amerika dan Inggris ini menceritakan sayembara anak-anak yang akan dipilih menjadi pemilik pabrik coklat milik Willy Wonka yang diperankan pesohor Hollywood, Johny Deep. Tentu saja karena itu pabrik coklat besar, aroma cokelatnya meruap di mana-mana. Seperti itulah rasanya ketika kali pertama, Saya dan rombongan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah membawa misi perdagangan dan investasi berkunjung ke Swiss, negara kecil di kaki pegunungan Alpen yang terkenal itu pada 18-23 Juli lalu. Saya kebetulan juga seorang penyuka cokelat.

Bacaan Lainnya

Untuk diketahui, pemukim asli Swiss dikenal sebagai suku Keltik kuno. Suku asli yang mendiami pegunungan dan kaki pegunungan Alpen hingga kini dikenal ramah dan bersahabat. Perilaku itu sangat terjaga hingga saat ini. Secara umum negara ini biasa disebut Konfederasi Swiss (Confoederatio Helvetica, dalam bahasa Latin). Negara ini dikenal netral dan tidak pernah terlibat dalam peperangan. Maka tak salah jika negara ini menjadi lokasi pelbagai kantor cabang badan international, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Health Organization–Badan Kesehatan Dunia, juga International Labour Organization–Organisasi Buruh International.

Swiss terbagi dari 26 canton atau wilayah, berbatasan dengan Jerman, Italia, Prancis, Liechtenstein, dan Austria. Swiss juga dikenal kaya akan bahasa dan kebudayaan. Bahasa resmi yang digunakan di negara ini dipilih dari 26 canton-nya. Sebanyak 17 canton berbahasa Swiss-Germany, 4 berbahasa Swiss-France, dan 1 Italia, lalu 3 bilingual Germany-France dan 1 trilingual.

Soal Cokelat, yang sudah kita ketahui berbahan baku utama massa Kakao atau padatan atau serbuk hasil olahan biji kering tanaman cokelat dan susu, memang menjadi andalan ekspor negara ini. Angka ekspor cokelat dari Swiss ke negara-negara Eropa saja, seperti yang dilansir asosiasi produsen cokelat setempat mencapai lebih dari 61 persen. Bahan baku massa kakao tentu saja berasal dari negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia. Pendek kata, penopang utama perekonomian negara ini adalah segala hal yang berhubungan dengan Cokelat. Ditambah lagi dengan olahan susu sapi dari peternakan-peternakan besar mereka.

Memang masyarakat di negara-negara eropa sangat menyukai Cokelat. Simak saja; Konsumsi cokelat Indonesia rata-rata sekarang ini hanya sekitar 0,5 kg per kapita per tahunnya, sedang konsumsi cokelat negara-negara Eropa mencapai lebih dari 8 kg per kapita per tahun. Itulah mengapa negara-negara dalam kontinental Eropa merupakan daerah tujuan utama ekspor Swiss.

Dalam penerbangan ke Swiss, saya lalu mencatat beberapa hal yang dalam waktu ke depan ini, akan menjadi jembatan penghubung kita dengan Negara Cokelat ini. Saat ini, produksi biji Kakao kering dari 287.795 hektare perkebunan Kakao rakyat kita mencapai 174.575 ton per tahun. Bila sekarang produktifitasnya masih berkisar 800 kilogram hingga 1 ton per hektare, diharapkan pada 2016 ini produktifitasnya bisa mencapai 2 ton. Sesuai informasi terakhir yang saya terima harga 1 kilogram biji kering kakao saat ini Rp39 ribu. Artinya kerja keras petani apalagi yang masuk dalam program intensifikasi yang dicanangkan oleh Dinas Perkebunan Sulawesi Tengah tidak sia-sia, karena harga biji Kakao yang sempat anjlok mulai mendapat harga layak lagi.

***

Pada 18 Juli, Saya dan rombongan berkunjung ke pabrik pengolahan keju di Affoltern, ini berada di Canton ke-11 negara ini atau tepatnya di wilayah Zurich. Di sini kami diperkenalkan olahan susu sapi ini. Keju yang diproduksi dari sini sudah menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Dan bisa jadi sudah sempat mampir di meja-meja makan kita di daerah ini.

Untuk membedakan produksinya, mereka menamainya sebagai keju Swiss. Ini merujuk pada semua semua keju lokal yang diproduksi di negara ini. Tidak kurang 450 jenis keju di produksi di negara ini. Usaha pembuatan keju mulai dari skala industri rumah tangga hingga pabrikan besar sudah menjadi tradisi di negara ini selama beratus-ratus tahun. Sekitar 80 persen tanahnya yang meski ditumbuhi rerumputan tidak cocok untuk bertani, namun dapat digunakan untuk menggembalakan ternak. Keju dari negara ini dikenal memiliki ciri-ciri yang khas yaitu berwarna kuning pucat, mengandung sedikit rasa kacang, dan memiliki banyak lubang pada teksturnya. Sebagian besar keju di sini diproduksi dari susu sapi, lalu kambing dan domba. Namun, karena jumlah sapi dari peternakan-peternakan mereka kian menyusut akibat bergantinya ladang penggembalaan dengan gedung-gedung, membuat mereka mesti mengimport bahan bakunya dari negara eropa lainnya.

Nah, di Sulawesi Tengah, sesuai data Dinas Peternakan, kita punya sapi sekitar 250 ribu – 300 ribu ekor sapi. Kita sudah tercatat sebagai penghasil sapi terbesar kedua di kawasan timur Indonesia setelah Sulawesi Selatan. Hanya saja kita memang belum mengarahkan produksi kita untuk susu sapi. Di tahun-tahun mendatang, kiranya ini bisa menjadi perhatian satuan kerja perangkat daerah terkait. Kita masih punya lahan peternakan yang potensial untuk itu. Misi perdagangan dan investasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah ke Konfederasi Swiss ini, mestilah berdayaguna.

***

Beragam potensi Sulawesi Tengah dan rencana pengembangannya itulah yang kemudian dipresentasikan sejak pertemuan dengan dewan pengelola IMI (International Management Institute), University of Switzerland hingga pertemuan bisnis di Wisma Indonesia di Bern, Switzerland selama 19-22 Juli lalu. Duta Besar Indonesia untuk negara di wilayah Switzerland, Linggawaty Hakim antusias menyambut kunjungan itu. Untuk diketahui IMI adalah lembaga pendidikan tinggi swasta Internasional yang didirikan pada 1991. Mereka membatasi mahasiswa hanya sebanyak 250 orang per semester. Jurusannya terkait manajemen perhotelan, restoran dan pariwisata. Ini adalah salah satu lembaga pendidikan manajemen bergengsi di dunia yang menjadi relasi pemerintah setempat dan negara-negara eropa lainnya.
Pertemuan bisnis penting yang mesti saya catat di sini adalah pertemuan dengan SwissContact di Zurich. Swisscontact adalah organisasi non pemerintah dari Swiss yang sudah bekerja di Indonesia sejak 1971. Desain program kerjanya adalah; Berkontribusi kepada pembangunan ekonomi melalui pariwisata yang berkelanjutan yang menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan untuk meningkatkan matapencaharian lokal. Swiscontact mulai bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia pada 2013. Sebaran wilayah kerja Swisscontact terdapat di 14 Provinsi, yaitu : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, NTT dan 57 Kabupaten kabupaten lainnya. Di Sulawesi Tengah, tenaga ahli dari lembaga ini akan mendampingi petani kakao untuk meningkatkan mutu produksinya hingga layak di pasaran Internasional. Mereka akan mendampingi para petani dari awal hingga biji kakao siap jual. Termasuk pula pengolahan produk dari biji kering Kakao. Kami bertemu dengan Eksekutif SwissContact Samuel Bon yang bersemangat menjelaskan program pengembangan itu. Kita mengharapkan ini akan menjadi kerjasama yang berkelanjutan dan berdaya guna untuk meningkatkan produktifitas petani kakao kita dan sekaligus membuka jalur ekspor ke Negara Cokelat itu, juga menumbuhkembangkan industri pengolahan cokelat yang sudah dirintis oleh sejumlah pengusaha lokal.

Dalam pertemuan bisnis yang dipimpin Duta Besar Linggawaty, Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sulawesi Tengah yang dipimpin Zalzulmida Aladin Djanggola juga mengenalkan kerajinan dari kayu ebony yang diolah oleh perajin lokal dari kayu hitam (Diospyros celebica) yang terkenal itu. Saat diberikan cenderamata berupa Buya Sabe, kain tenun tangan sutera dari Donggala, Duta Besar Linggawaty sangat kagum. Ia tidak menyangka bahwa perajin lokal Sulawesi Tengah juga punya tenunan khas yang luar biasa cantik dan anggunnya. Ia berharap itu akan menjadi salah satu produk tekstil lokal yang akan mendunia.

Sebelum kembali ke Sulawesi Tengah, di akhir kunjungan kami menyempatkan diri bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Perancis, Kepangeranan Monaco dan Andora, Hotmangaradja Pandjaitan. Di hadapan Duta Besar Hotmangaradja, kami kembali menyampaikan potensi-potensi daerah ini yang dapat menjadi jembatan penghubung negara-negara Eropa dengan Sulawesi Tengah di masa kini dan mendatang. Dengan luasan lahan perkebunan, pertanian dan peternakan serta potensi pengembangan menjadikan daerah kita merupakan salah satu daerah potensial yang dapat menjalin kerjasama perdagangan dan investasi dengan eropa.
Sekarang, berdasar hal itu, kiranya dinas-dinas terkait atau satuan kerja perangkat daerah dapat bekerja keras memaksimalkan potensi pembangunan yang ada untuk perbaikan dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat dan daerah pada umumnya. Apalagi kini kita berhadapan dengan era pasar bebas Asean, di mana aliran barang dan jasa menjadi kian terbuka. Kita pun sudah menyiapkan Kawasan Ekonomi Khusus yang diharapkan segera berderak memacu pembangunan ekonomi masyarakat dan pembangunan di daerah ini. ***

Pos terkait