BPJS dan Kapitalisasi Layanan Publik

  • Whatsapp

Polemik tentang BPJS kembali muncul pascakeluarnya hasil kesimpulan Ijtima’ (pertemuan) Komisi Fatwa MUI 2015—yang membidangi Masalah Fikih Kontemporer—tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kesimpulannya bahwa penyelenggaraan JKN oleh BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan Syariah Islam karena mengandung unsur penipuan (ghoror), perjudian (maysir), dan riba. Olehnya itu ia mendorong pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan jaminan sosial yang sesuai dengan prinsip syariah. Hal itulah yang dipersepsikan publik sebagai Fatwa Haram BPJS oleh MUI yang kemudian menimbulkan polemik.
Penulis tidak ingin masuk dalam polemik tentang Kesimpulan Komisi Fatwa MUI tersebut, namun mencoba mendekati masalah JKN-BPJS dan layanan publik lainnya dalam perspektif politik dan ketatanegaraan.

Hak dan Kewajiban
RELASI antara penguasa dengan rakyat dalam konteks jaminan kesehatan berada dalam domain layanan publik. Posisi keduanya dalam hukum tata negara adalah dalam rangka memenuhi hak dan kewajiban. Siapa yang berkewajiban melaksanakan layanan itu dan siapa yang berhak menerima layanan? Konstitusi telah mewajibkan pelayanan itu kepada negara yang dalam hal ini adalah penguasa—yang secara spesifik dalam sistem politik demokrasi adalah pemerintah (eksekuti). Selanjutnya, rakyat secara keseluruhan—yang kaya dan yang miskin—memiliki hak untuk memperoleh pelayanan tersebut.  Di dalam UUD 1945 pasal 28H dinyatakan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam konteks ini, penguasa tidak boleh lepas tangan atas kewajiban pemberian layanannya kepada publik, baik dengan alasan ketidakmampuan keuangan negara maupun karena rakyat telah mampu secara finansial. Karena kewajiban itu telah ditetapkan oleh konstitusi. Olehnya itu, ia dituntut untuk mendayagunakan segala potensi negara (SDA dan SDM) yang ada untuk menjalankan kewajibannya itu sehingga hak rakyat terpenuhi. Penguasa tidak boleh mengalihkan kewajiban itu kepada pihak lain termasuk kepada rakyat, sebagaimana ia tidak boleh mengubah hak rakyat menjadi kewajiban.
Kehadiran JKN dan BPJS ini merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab/kewajiban negara (penguasa) kepada publik. Hal itu terlihat dari adanya kewajiban rakyat untuk menjadi peserta JKN yang disertai kewajiban membayar iuran setiap bulannya dengan konsekuensi pencabutan hak layanan tersebut dan layanan publik lainnya—seperti layanan pembuatan KTP dan KK—jika tidak melakukan pembayaran dan pendaftaran sebagai peserta.
Olehnya itu, sistem JKN ini sejatinya bertentangan dengan konstitusi sehingga seharusnya dibatalkan. Adalah suatu hal yang keliru, sebuah layanan publik yang merupakan hak konstitusional rakyat berubah menjadi kewajiban. Itu tegas dalam pasal 19 ayat 1 dan 3 UU SJSN yang menyebutkan bahwa sistem JKN diselenggarakan dengan prinsip asuransi sosial yaitu suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarga.
Walaupun penguasa—yang diwakili BPJS sebagai penyelenggara teknis dan DPR sebagai pembuat kebijakan—berdalih bahwa kewajiban iuran itu pada masyarakat yang mampu dan bagi yang tidak mampu dibayarkan oleh negara sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI), tetap saja telah terjadi pengalihan hak menjadi kewajiban. Pada titik ini masalahnya dalam perspektif politik dan hukum tata negara.
Belum lagi kita melihat berbagai persoalan dalam pelayanannya seperti adanya pengklasifikasian layanan dan pembatasan pertanggungan. Hal ini jelas menyalahi prinsip layanan publik yang harus berkeadilan.
Akhirnya kita tidak bisa menyalahkan jika muncul persepsi bahwa ada kepentingan bisnis dibalik sistem JKN-BPJS ini. Sebelum BPJS Kesehatan ini mencuat, BPJS Ketenagakerjaan pun telah digugat oleh pekerja terkait dengan pembatasan waktu pencarian dana mereka. Dugaan adanya kepentingan bisnis dibalik program itu, dikuatkan dengan adanya amanat UU SJSN dan BPJS untuk menginvestasikan dana asuransi sosial itu—yang merupakan hasil pengumpulan iuran dari rakyat—yang bersifat ‘mandatori’ (wajib). Yang dalam kaitannya dengan ini, BPJS Kesehatan telah menginvestasikan 10 trilliun rupiah. Inilah yang menjadi penegas adanya business oriented dibalik UU SJSN dan BPJS. Artinya, layanan publik telah terkomersialkan atau terkapitalisasi.

Dalih Ketidakmampuan
JIKA penguasa berdalih bahwa pelimpahan kewajiban itu akibat terbatasnya dana negara (APBN)—sehingga tidak mampu menanggung semua kebutuhan pembiayaan kesehatan masyarakat—maka secara faktual hal ini menjadi aneh ketika ada dana yang diinvestasikan. Sejatinya jika dana terbatas—yang artinya kas tidak surplus bahkan rentan minus—maka tidak akan ada dana yang dinvestasikan karena akan habis digunakan. Dan memang secara faktual ada pembatasan di lapangan. Tidak semua obat dan tidak semua layanan ditanggung BPJS. Bahkan ruang rumah sakit tidak cukup untuk menampung orang sakit, peralatan perawatan tidak memadai, dan berbagai keterbatasan lainnya. Hal ini menunjukkan tingkat kebutuhan dana untuk masalah kesehatan ini memang tinggi. Tapi mengapa dana rakyat itu—yang khusus dikumpul untuk biaya kesehatan mereka—diinvestasikan lagi? Siapa yang diuntungkan dalam investasi ini?
Sebagaimana diawal disebutkan bahwa bagaimanapun kondisinya penguasa tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain yang merupakan kewajiban konstitusional baginya untuk ia penuhi. Sebagaimana ia tidak boleh mengubah hak rakyat menjadi kewajiban. Pada titik ini, menjadi pertanyaan besar bagi DPR juga, bagaimana mereka bisa membuat regulasi seperti ini? Tentu kita tidak bisa mempersepsikan bahwa mereka tidak paham konstitusi, sebagaimana kita tak bisa mengatakan bahwa pemerintah (eksekutif) kehabisan akal untuk mencari cara mendapatkan dana tanpa membebani rakyat. SDA kita cukup bahkan melimpah. Ratusan korporat (lokal dan asing) dikayakan oleh sumber daya alam kita. Mengapa semua itu tidak dikelola oleh penguasa dengan baik?
Kalaupun faktanya negara memang tidak dapat mencukupi kebutuhan pembiayaan kesehatan dan layan publik lainnya, karena dana APBN terbatas, maka bukan berarti penguasa boleh mengubah hak menjadi kewajiban. Ia bisa saja menempu cara lain seperti meminta bantuan atau partisipasi rakyat secara sukarela. Membuka posko dan rekening bantuan misalnya, dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang baik, niscaya rakyat akan membantu dengan sukarela. Partisipasi rakyat seperti ini telah terbukti dalam banyak hal seperti dalam membantu korban bencana. Mereka dengan sukarela membantu langsung atau melalui lembaga-lembaga sosial.
Jika penguasa serius dan benar-benar jujur dalam pengelolaan dana, termasuk jujur bahwa dana negara tidak lagi cukup untuk membiayai program layanan kesehatan masyarakat, jujur bahwa hasil pengelolaan SDA tidak cukup, niscaya rakyat secara sukarela akan membantu.  Pemerintah cukup membuka posko dan rekening khusus yang disertai dengan sosialisasi ke publik, niscaya itu akan terpenuhi. Tapi kuncinya adalah kejujuran—akuntabilitas dan transparansi—yang tidak disertai kepentingan bisnis. ***

Pos terkait