Kisah “Klasik” Guru di Pedalaman Sigi, Sulteng

  • Whatsapp

DEMI MENGAJAR – Perjuangan Muh. Nur bersama rekan gurunya, saat melalui jalan menuju sekolah, yang banjir akibat hujan. (foto: Dok. Pribadi Muh. Nur)

*Uang Honor Rp250 Ribu per Triwulan

TUGAS menjadi guru itu banyak sekali tuntutannya. Mencerdaskan kehidupan bangsa, mendidik murid berakhlak dan berguna bagi bangsa dan negara. Sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945. Namun nasib guru di pedalaman tak pernah sejahtera. Kisah guru Oemar Bakrie, seolah abadi di negeri ini. Setidaknya perjalanan hidup Muh. Nur, seorang guru honorer di SMP Satu Atap (Satap) Negeri 18 Sigi, selalu indah baginya. Sebab tugas mendidik adalah panggilan jiwa.

Laporan : Imam El Abrar, Ongulero Sigi

Ada sebuah ungkapan yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tanpa guru kita tidak mungkin akan menjadi seperti diri kita yang sekarang. Olehnya, kita sering mendengar orang-orang menggelari para guru sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa”.

Menjalani profesi guru, di sekolah yang terpencil, jauh dari peradaban maju kota, membuat seorang guru menghadapi dinamika yang lebih kompleks. Selain akses jalan yang penuh tantangan, siswa yang dihadapi masih sangat lugu, hingga jumlah honor yang tergolong kecil.

Salah satunya Muh. Nur, seorang guru honorer di SMP Satap Negeri 18 Sigi, yang dulunya bernama SMP Negeri Satap Ongulero. Di sekolah yang terletak di Desa Ongulero, Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Sigi ini, Nur mengajar mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan kesehatan (PJOK).

Tenaga pengajar di sekolah yang telah memiliki bangunan permanen berkat program Kemitraan Pendidikan Australia-Indonesia ini, memang sebagian besar hanyalah honorer, hanya ada dua orang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yakni Kepala Sekolah dan Bendahara Sekolah. Para honorer di sekolah ini, termasuk Nur, hanya menerima honor sebesar Rp250 ribu per triwulan. Dana honor mereka, merupakan alokasi dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Selain Kepala Sekolah dan Bendahara, kami yang lainnya merupakan tenaga honorer, termasuk penjaga sekolah,” ujar Nur, alumnus Prodi PJKR Universitas Tadulako tahun 2013.

Sekolah ini berlokasi di puncak gunung sebelah Barat Kota Palu, berjarak belasan kilometer dari lokasi wisata Paragliding Matantimali. Nur tinggal di Desa Baliase Kecamatan Marawola, Sigi (5 kilometer dari Palu), Selain Nur, Kepala Sekolah para guru lainnya, juga berdomisili di Palu maupun di Kecamatan Marawola.

Untuk mencapai sekolah, para guru tersebut mesti menempuh jarak lebih dari 25 kilometer mendaki gunung, dengan waktu tempuh sekitar 60 menit lebih. “Jadi sering ada guru yang tidak sempat datang, kalau sudah begitu biasanya kami yang datang mengganti mereka mengajar mata pelajarannya,” imbuh Nur.

Akses jalan yang dilalui Nur dan tenaga pengajar lainnya, memang tergolong berat. Kondisi jalan beraspal mulus hanya dapat dinikmati hingga tepat di sekitar pemandian umum Porame. Selebihnya, jalanan hanya berupa aspal kasar yang berlubang-lubang dan penuh tikungan tajam serta pendakian curam.

Makin jauh berkendara, jalanan yang semula beraspal berubah menjadi jalanan tanah berkerikil dan berbatu cadas, yang akan becek dan licin jika hujan. “Tantangannya, kalau hujan biasanya kita jadi lebih sulit untuk berkendara. karena air yang menggenang membuat jalanan menjadi licin, bahkan jalannya bisa longsor dan membuat akses jalan semakin susah untuk ditembus. Jadi, biasanya jika hujan deras turun, atau memang sudah tidak memungkinkan untuk pulang, kami akan menginap di sini,” jelas Nur.

Akses jalan juga sempit dan berhutan, bertikungan tajam dan memiliki pendakian yang curam tersebut, juga tanpa pengaman yang memisahkan antara jalan dan jurang. Sehingga siapapun yang berkendara dengan kurang fokus, akan langsung menuju jurang. “Tantangan lainnya, biasanya kami menemui ular hitam menyeberang di jalan, atau bergelantungan di pohon di tengah jalan,” cerita Nur.

Meski begitu, Nur dan para guru honorer lain, tidak patah semangat dalam mengajar anak-anak SMP yang baru didirikan pada 2013 itu.“Saya dan guru lainnya sudah mengajar sejak 2013, kalau kami gampang menyerah, tentunya kami tidak akan bertahan hingga sekarang. Di sekitar sini, di daerah yang lebih jauh dari sini juga banyak sekolah SD, dan rata-rata mereka kekurangan guru. Jadi, kalau kami menyerah di sini, maka siapa yang akan diharap lagi,” tegas Nur.

Melalui peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI ke-71 tahun 2016 ini, Nur mengungkapkan harapannya, agar ia bersama rekan-rekannya yang lain, dapat diangkat menjadi tenaga honorer daerah, yang tentunya akan sedikit meningkatkan pendapatannya dibandingkan sekarang.

“Honor yang sekarang memang hanya habis di biaya bahan bakar (BBM). Tapi ya mau bagaimana lagi, beginilah namanya pengabdian,” tandas Nur. (***)

Pos terkait