PALU,PE — Persentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah (Sulteng) tercatat paling tinggi kedua di Pulau Sulawesi. September 2016 persentase jumlah penduduk miskin Sulteng sebesar 14.09 persen atau sebanyak 413,15ribu jiwa. Jumlah itu naik sekira 0.02 persen dari September 2016 yakni 14.07 persen.
Selanjutnya Provinsi Gorontalo yakni 17,63 persen atau sebanyak 203,69ribu jiwa, Sulawesi Tenggara 12,77 persen atau sebanyak 327,29 ribu jiwa, Sulawesi Barat 11,19 persen atau sebanyak 149,90 ribu jiwa, Sulawesi Selatan sebesar 9,24 persen atau sebanyak 796,8 ribu jiwa dan Sulawesi Utara sebesar 8,20 persen atau sebanyak 200,3 ribu jiwa. Dua provinsi yaitu Gorontalo dan Sulbar terhitung baru berumur 13 tahun.
Kepala Bidang Sosial BPS Sulteng, Sarmiati menyebutkan, penduduk miskin di Sulteng dihitung berdasarkan kemampuan daya beli setiap penduduk terhadap kebutuhan pokok makan dan non makanan. Menurutnya, garis kemiskinan Sulteng untuk September 2016 ditetapkan sebesar Rp 382,774 per bulan per kapita penduduk miskin.
“Mereka yang pengeluarannya di bawah dari angka garis kemiskinan itu tergolong miskin,”jelas Sarmiati, di Kantor BPS Sulteng, Selasa 10 Januari 2016.
Sarmiati menjelaskan, Provinsi Sulteng termasuk daerah yang harga komoditi kebutuhan dasar tinggi dibanding provinsi lainnya. Hal tersebutlah yang turut memengaruhi kemampuan daya beli penduduk miskin. Sehingga rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk miskin tidak keluar dari garis kemiskinan tersebut.
Selain itu, sektor pertambangan yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Sulteng juga tidak berdampak langsung pada masyarakat, khususnya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
“Sementara untuk sektor pertanian yang menjadi andalan Sulteng itu pertumbuhannya bergerak lambat,”jelasnya.
Menurutnya Pemerintah Provinsi Sulteng memang mempunyai program pengentasan kemiskinan dalam bentuk bedah kampung dan rumah. Namun sayangnya, program ini jelas Sarmiati tidak signifikan memengaruhi pendapatan penduduk miskin yang diintervensi.
Pasalnya, bantuan bedah kampung dan rumah tersebut diberikan dalam bentuk sarana dan prasarana, bukan untuk meningkatkan pendapatan perkapita penduduk. “Jadi program itu tidak mengeluarkan penduduk dari garis kemiskinan,”jelasnya.
Menurut Sarmiaty kenaikan persentase penduduk miskin Sulteng dipengaruhi sejumlah hal. Antara lain inflasi pada periode Maret 2016-September 2016 sebesar 1,46 persen, jauh lebih rendah dibanding periode September 2015-Maret 2016 sebesar 2,58 persen.
Faktor lainnya karena proyek pembangunan infrastruktur pemerintah umumnya lebih banyak terealisasi pada bulan September dibanding bulan Maret. Kondisi itu urai Sarmiati menyebabkan penyerapan tenaga kerja di bulan September umumnya lebih tinggi.
Meningkatnya produksi pangan, khususnya padi, yang ditandai dengan meningkatnya luas panen secara signifikan. Pada triwulan III (Juli-September) 2016 luas panen padi sebesar 50.407 ha, naik 75,3persen dibanding triwulan I (Januari-Maret) 2016 yang sebesar28.751 ha.
Peningkatan luas panen ini menurutnya selain berimplikasi terhadap meningkatnya pendapatan petani, juga berpengaruh pada bertambahnya daya serap tenaga kerja buruh tani di pedesaan. Yang pada gilirannya akan memberikan dampak terhadap pennurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan.
Adapun urutan persentase dan jumlah penduduk miskin berdasarkan kabupaten/kota di Sulteng mulai dari terendah yakni Kota Palu 7,42persen, Banggai9,84persen,Sigi 12,75persen,Tolitoli 13,64persen, Morowali 15,80persen, Banggai Kepulauan 16,08persen, Buol 16,36persen, Morowali Utara 16,91persen, Banggai Laut 17,68persen, Poso 18,16persen, Donggala 18,11persen, Tojo Una-Una18,79persen. (mdi)