PALU EKSPRES, PALU– Wali Kota Palu Hidayat secara terbuka menyampaikan hasil permintaan keterangan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI terkait polemik pembayaran jembatan IV atau jembatan kuning.
Hidayat mengaku dirinya beserta jajaran sebatas dipanggil untuk memberikan keterangan sekaitan proses dan sumber dana pembayaran jembatan tersebut.
Sedikitnya menurut Hidayat, terdapat 16 pertanyaan yang diajukan pihak Kejagung. Namun intinya Kejagung ingin mendapat informasi terkait sumber dana dan penempatan pos anggaran pembayarannya.
“Kalau pembayarannya itu tidak dipersoalkan lagi oleh Kejagung. Tapi lebih kepada sumber dana dan pos penempatan anggaran,” ungkap Hidayat, Senin 19 Agustus 2019.
Terkait sumber dan penempatan pos anggarannya, Hidayat menjelaskan bahwa, sumber dana yang digunakan untuk pembayaran berasal dari sumber dana lain-lain pendapatan daerah Pemkot Palu.
Hidayat menjelaskan Pemkot tidak dapat mengambil dari sumber dana alokasi khusus (DAK) maupun dana alokasi umum (DAU) yang notabene telah memiliki peruntukan masing-masing.
“Kalau DAK tidak mungkin karena kita melaksanakan pembangunan. Sementara DAU kita pakai untuk belanja pegawai. Makanya kita gunakan dana lain lain,”bebernya.
Anggaran pembayaran jembatan itu jelas Hidayat kemudian ditempatkan sebagai belanja modal.
“Tidak mungkin kita tempatkan sebagai belanja pegawai maupun belanja jasa,”jelasnya.
Selebihnya tambah Hidayat, pertanyaan yang mencuat adalah sekaitan kronologis putusan hukum hingga akhirnya Pemkot harus terpaksa melakukan pembayaran.
Dalam kesempatan itu, Hidayat juga dengan tegas menyatakan tidak pernah menerima suap hingga melatari keputusan Pemkot Palu untuk membayar pokok hutang pembangunan jembatan tersebut.
“Isu suap ini yang sekarang sedang berhembus,” katanya.
Hidayat bahkan menyebut dirinya sudah berusaha untuk tidak melayani atau membuka komunikasi dengan pihak PT Global Daya Manunggal (GDM) terkait pembayaran pokok jembatan tersebut.
“Saya tidak pernah layani telepon dan pesan singkat dari pihak perusahan yang menyampikan prihal tagihan itu. Saat itu sayapun belum pernah bertemu dengan satupun pihak perusahaan,” paparnya.
Pertemuan dirinya dengan pihak PT GDM akhirnya terjadi pada sebuah kegiatan persemian pembangunan kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Hidayat mengaku tiba-tiba disodorkan dokumen tagihan itu oleh seorang bernama Nani yang belakangan ia ketahui adalah pihak PT GDM.
“Dari situpun saya tidak memberi persetujuan. Saat itu saya hanya memerintahkan inspektorat dan instansi terkait lainnya untuk mengkaji dokumen itu,” tandasnya.
Perlawanan demi perlawanan hukum pada dasarnya telah diupayakan agar Pemkot Palu saat itu tidak melakukan pembayaran poko hutang itu. Namun akhirnya terbit putusan Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan putusan pengadilan negeri, yang memerintahkan Pemkot Palu harus membayar hutang itu. Putusan pengadilan negeri ini terkait dengan perintah eksekusi pembayaran yang diajukan pihak PT GDM sebagaimana putusan BANI.
“Sebelum akhirnya dibayarpun, kami berkonsultasi ke semua pihak. Kepolisian, kejaksaan, BPK RI, bahkan pengadilan negeri,” pungkasnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot Palu, Romy menambahkan, pembayaran pokok hutang jembatan sebesar Rp14,9milyar lebih berawal dari adanya putusan Badan Arbitrase Nasional (BANI). Putusan ini memerintahkan Pemkot Palu membayar adanya eskalasi harga bahan bangunan jembatan. Meski sebenarnya Pemkot Palu sudah membayar ongkos pembangunan sesuai dalam kontrak.
Dalam putusan BANI disebutkan bahwa, Pemkot Palu tidak pernah memenuhi undangan sidang ditingkat BANI. Hingga akhirnya menerbitkan putusan tersebut.
“Saat itu Pemkot tidak bisa hadir karena tidak ada pos anggaran biaya perkara yang jumlahnya Rp200juta,”jelas Romy.
Disisi lain, Pemkot sudah berusaha menolak agar penyelesaian sengketa terkait pembayaran eskalasi harga tidak melalui sidang BANI. Sebaliknya Pemkot bersihkukuh agar sengketa itu diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Namun belakangan yang ia ketahui, bahwa terjadi amandemen sekaitan dengan pola penyelesaian sengketa itu. Dalam amandemen itu, seolah olah Pemkot Palu sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui sidang BANI.
“Dari informasi ini mencuat bahwa ada pemalsuan tanda tangan yang seolah olah Pemkot sepakat menyelesaikan sengketa melalui jalur BANI,”demikian Romy.
Sementara itu Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Palu, Irmawati Alkaf menuturkan, pembayaran pokok hutang pada prinsipnya telah dikoordinasikan dengan BPK RI. Dengan catatan, Pemkot Palu diharuskan membuat pengakuan hutang.
“Karena jika tidak, maka BPK akan mendisclaimerkan opini laporan keuangan Pemkot Palu,”demikian Irmawati.(mdi/palu ekspres)