Oleh : Nur SANGADJI (muhdrezas@yahoo.com)
Sejak dilantik hingga kini, Nadiem Makarim adalah satu dari sekian Menteri yang paling disorot. Di sorot karena umur. Karena gelar. Karena tempat lahir. Karena sekolahnya. Karena profesi sebelumnya. Karena pakaiannya. Dan terakhir, karena kritik dan gagasannya.
Saya berpandangan biasa saja. Sebab, sesuatu yang baru pasti melahirkan kontroversi. Lebih ektrimnya lagi, penggasnya akan dimusuhi. Marchevelli yang bilang . “You Will be the enemy for all the people until most of them understand that ide”.
Berikut, perbandingan yang terlalu ekstrim. Tapi, hampir semua Rasul mengalaminya. Dicela, diteror hingga di bunuh. Mereka itu diutus langsung olen Tuhan. Apalagi hanya manusia biasa.
Dahulu, banyak orang memarahi Jokowi dan membuli Puji Astuti. Sebabnya, perempuan yang minim pendidikan formal itu dipilih jadi menteri. Belakangan saya dengar banyak yang menyesalkan Jokowi, lantaran perempuan yang dulu dibuli itu, tidak lagi dipilih pada kedua. Itulah sebabnya, saya tenangkan diri untuk tetap bilang, biasa biasa Saja.
Saya justru merasa sejumlah tindakan Nadim ini membuat seimbang cara kita berfikir. Kita selalu ajari orang untuk, “Think out of the box, bahkan think without the box”. Kita juga nasehati orang : “don’t just a book from its cover “. Tapi, ketika ajaran itu dipraktekan orang. Kita yang lebih dahulu menentangnya.
Akhir-akhir ini, Saya menggelisahkan beberapa fakta tentang larangan dan kepatutan. Tapi, ketika Nadim mempraktekannya, saya pikir inilah jawaban paling adil dan seimbang. Karena itu, saya ikut bertanya, apa yang salah ?. Ketika, Menteri pake batik dan celana jean’s.
Lalu, saya lebarkan lagi pertanyaan ini. Apa juga yang salah kalau orang pakai celana Jingkrak dan cadar..? Apa yang salah kalau saudara kita penganut hindu, pakai topi dan lingkaran tali di pinggang wanitanya. Pula, kopiah dan sarung bagi yang muslim. Serta juga, saudara kita yang penganut Sikh dengan topi yang menyerupai sorban ? Biasa saja khan..?
Nadiem bilang di sebuah forum ilmiah yang terhormat. “Kita hidup di era dimana gelar tidak menjamin kompetensi. Kelulusan tidak menjamin kesiapan kerja. Akreditasi tidak menjamin mutu. Pernyataan ini memantik reaksi keras berbagai kalangan. Padahal sesungguhnya, ini pernyataan oratoris yang sangat biasa.