Ahsanu ‘Amalan, Bukan Aksaru ‘Amalan

  • Whatsapp
Haerolah Moh. Arief. Foto: Istimewa

Oleh H. Haerolah Muh. Arief (Kepala KUA Kecamatan Palu Barat)

HADIS Qudsi ini tergolong populer di kalangan para da’i. Entah saat ramadhan di masa tenang atau ramadhan di tengah pandemi Covid-19. Allah Swt. menyatakan: “Semua amal anak adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu kepunyaan-Ku dan Akulah yang akan membalasnya secara langsung.” HR. Bukhari.
Melalui hadis Qudsi ini, “para pemburu amal” dibimbing untuk bersikap dewasa dalam beribadah, khususnya dalam berpuasa. Mereka harus berani melepaskan keinginan-keinginan ego, dan rela mempersembahkan ibadah puasanya demi Allah semata. Rela menahan perihnya lapar dan dahaga dengan menunda segala kesenangan nafsu selama empat belas jam, hanya untuk Allah. Sehingga pada gilirannya, ibadah puasa mendidiknya untuk belajar ikhlas dalam beramal.
Islam mengajarkan dua dimensi untuk mengukur baik dan buruknya amal perbuatan seseorang. Pertama berkaitan dengan amal perbuatannya dan kedua berhubungan dengan niat orang yang melakukan perbuatan tersebut. Jika dimensi pertama menyangkut sisi material, maka yang kedua berkaitan dengan sisi spiritual. Di antara dua perbuatan ini, manusia hanya bisa menilai pada sisi pertama. Sementara dimensi kedua hanya Allah yang mampu menilainya.
Ketika seorang politisi ternama misalnya, dengan kekayaannya membagikan sembako dan APD dalam situasi pandemi Covid-19, publik pasti menilainya sebagai perbuatan baik, karena memberi manfaat sosial. Tetapi yang mampu dipotret oleh manusia hanya sebatas kondisi sosialnya. Sebab tidak seorang pun mampu meneropong kondisi spiritual seseorang, kecuali Allah.
Sehingga bisa dipastikan penilaian Allah terhadap amal seseorang, tidak akan sama dengan penilaian manusia. Sebab dalam menilai suatu perbuatan Allah bukan saja melihat aspek lahiriahnya tapi juga meneropong aspek batiniahnya. Bahkan Dia lebih memperhatikan dimensi spiritual dari segala amal perbuatan kita. (Perhatikan QS. Al-Mulk ayat 2).
Dalam ayat tersebut Allah menggunakan ungkapan “ahsanu ‘amalan”, yakni yang terbaik amalnya. Bukan “aksaru ‘amalan”, yang terbanyak amalnya. Artinya, tolak ukur bagi nilai suatu perbuatan di sisi Allah adalah kualitasnya bukan kuantitasnya. Bisa jadi sebuah perbuatan begitu besar dan tinggi nilainya dalam pandangan manusia, tapi sangat kecil nilainya dan bahkan tidak bermakna sedikitpun di sisi Allah. Bisa disebabkan niat pelakunya tidak ikhlas atau karena didasari riya semata. Amal-amal seperti itu bisa dikatakan sukses dalam perspektif sosial tetapi gagal dalam perspektif transendental.
Betapa sering dalam beribadah, seseorang mengharapkan pujian atau perhatian manusia. Bukan perhatian Allah. Imam Al-Ghazali menyatakan: “Kebaikan apakah yang engkau terima dengan pujian manusia, sementara engkau hina dalam pandangan Allah”?
Kisah berikut ini bisa menjadi renungan bersama. Sekelompok orang kaya raya ingin membangun sebuah masjid besar dan megah. Mereka sepakat biaya pembangunanya dipikul secara “patungan”. Ketika pekerjaan pembangunan masjid sedang berlangsung, Bahlul, lelaki berpenampilan sederhana datang berkunjung. Ia takjub melihat kerangka bangunan masjid yang sangat besar dan megah itu.
Lalu, terjadi dialog diantara mereka. “Apa yang tuan-tuan bangun ini?”, tanya Bahlul. “Ooh, kami sedang membangun masjid,” jawab para milyader itu kompak. Ketika Bahlul menanyakan apa motivasinya, jawaban yang terdengar klise pun meluncur dari mulut mereka. “Kami semata-mata mencari keridhaan Allah”. Mendengar jawaban itu, Bahlul pun pergi.
Namun Bahlul tidak tinggal diam. Ia ingin membuktikan kadar keikhlasan orang-orang berduit itu. Diam-diam dia memesan prasasati bertuliskan “Masjid Bahlul” pada seorang ahli pahat.
Saat bangunan masjid hampir rampung, di tengah malam yang sepi, Bahlul datang membawa dan memasang prasasti berpahat namanya itu. Tepat di bagian atas pintu masjid.
Keesokan harinya, terdengar kegaduhan dalam masjid. Penyandang dana pembangunan masjid merasa Bahlul telah mencuri start. Mereka marah dan ramai-ramai mencari Bahlul. Begitu berjumpa, tanpa bertanya Bahlul dihadiahi pukulan bertubi-tubi.
Setelah puas, baru dia diinterogasi. “Bahlul, beraninya kau mencuri hasil keringat kami. Kami yang membangun masjid, tapi namamu yang kau ukir di atas prasasti”.
Bahlul tenang menjawab. “Bukankah tuan-tuan yang mengatakan, bahwa kalian membangun masjid semata-mata untuk Allah? Pengunjung dan jamaah masjid ini mungkin bisa aku tipu, ketika mereka membaca namaku diprasasti. Tetapi apakah Allah bisa aku tipu?. Sampai kapanpun, Dia Maha Mengetahui, kalianlah yang membangun masjid besar nan megah ini. Jika demikian, mengapa kalian bingung dan panik karena sebuah nama? Apa arti sebuah nama, jika tidak berperan sedikit pun?”
Di ramadhan mubarak dan penuh maghfirah, kisah ini seharusnya mengantarkan kita untuk sadar, bahwa sedikit sekali orang yang benar-benar ikhlas dalam amal perbuatannya. Banyak karya yang menurut penilaian manusia sangat besar dan agung, padahal di sisi Allah tidak lebih dari sekedar “menuliskan nama” di atas prasasti peresmian atau layar medsos.
Mungkin inilah yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an ketika iblis bersumpah akan menyesatkan semua umat manusia kecuali orang-orang yang ikhlas (mukhlashin).*

Pos terkait