Oleh Nur Sang Adji
Bila ada yang bilang, desa berada dalam bahaya di era covid 19. Ini pasti dikaitkan dengan kekuatiran pulangnya kaum imgran dari kota. Mudik atau pulang kampung bukan urusan. Masalahnya, bila mereka membawa virus. Pada saat bersamaan, desa pasti tidak memiliki kesiapan medis untuk menghadapinya. Menakutkan sekali. Tapi itu, biarlah menjadi urusan “lockdown, PSBB dan sejenisnya. Artikel ini menengok dari sudut yang lain.
Seorang sahabat di Universitas Tadulako menulis buku berjudul Desa dalam bahaya. Ini ditulisnya jauh sebelum pandemi covid 19. Saat bincang kecil dengan Mas Eko, (begitu saya sering memanggilnya), sang penulis buku ini. Beliau menggelisahkan beberapa hal tentang desa.
Pertama, potensi luas lahan yang tidak tergarap optimal. Padahal, tanahnya subur dan airnya tersedia. Lahan yang terlantar ini dengan mudah dilego ke pihak luar. Sekarang, lebih bahaya lagi karena lahan dan air tersedia itu, justru makin terancam. Baik oleh deforestasi hutan maupun alih fungsi lahan pertanian. Petaninya berubah status sekaligus profesi dari pemilik menjadi buruh penggarap atau pekerja serabutan.
TERSEMBUNYI
Mungkin yang tidak sempat diungkap adalah proses peralihan aset desa milik invidu tersebut. Disamping karena memenuhi kebutuhan hidup sehari hari atau hajatan keluarga. Juga, karena tidak mampu lagi bayar pajak yang mendadak naik karena nilai objek pajak (tanah) yang naik akibat akses yang terbuka. Misalnya pembukaan jalan yang melewati lahannya. Dari pada tidak mampu bayar pajak tanah, lebih baik dijual agar dapat dana lebih cepat.
Anak anak petani yang sejak semula memang tidak tertarik dengan dunia pertanian. Mereka pergi sekolah ke kota. Lalu, mendapat ilmu dan teknologi yang hanya cocok untuk bermukim di kota. Tidak terfikir untuk pulang kampung, membangun desa. Ini sekelumit sebab yang membuat penulis mengangkat judul, desa dalam bahaya.
Desa itu identik dengan pertanian. Dan, pertanian sama dengan makanan. Kabar terkini menunjukan ada 30 juta jiwa terancam kelaparan akibat pemutusan kontrak kerja dan menurunnya daya beli akibat covid 19. Dunia memperkirakan 1 miliar manusia kekurangan pangan. Lalu, semua negara menghentikan ekspor bahan pangannya untuk melindungi konsumsi dalam negeri.