Festival Ekologis

  • Whatsapp
Halim HD. Foto: Istimewa

Oleh Halim HD (Networker Kebudayaan)

SETIAP tahun kita menyaksikan atau mendengar melalui media sosial, TV, radio dan media cetak begitu banyak festival yang diselenggarakan di negeri ini, dari tingkat kabupaten, kota, provinsi sampai dengan di Jakarta/ di tambah lagi dengan berbagai festival yang menjadi proyek pemrintah pusat yang diadakan di berbagai daerah, berkaitan dengan usaha untuk mengembangkan potensi unik yang ada di daerah yang bersangkutan.

Bacaan Lainnya

Kita tak tahu berapa besar biaya yang telah dikeluarkan oleh pemda dan pemerintah pusat. Mungkin bukan hanya ratusan miliar rupiah, bahkan sangat mungkin mencapai satu triliun rupiah lebih. Biaya yang sebesar itu tentu saja bukan hanya untuk kemeriahan belaka. Di balik festival selalu ada makna lain yang dikandung yang berkaitan dengan usaha pemerintah untuk mencoba menghubungkan makna antara suatu kondisi kehidupan masa kini dengan masa lalu, sambil berusaha untuk merefleksikan nilai lain yang bermakna, yang bisa dijadikan orientasi bagi warga.
Di samping itu, festival juga bermakna mewujudkan gagasan-gagasan eksperimentasi hasil dari uji coba di dalam proses pembaharuan nilai-nilai senibudaya, agar kelangsungan antara khasanah tradisi dengan yang modern bisa bersatu, dan ada sejenis jembatan nilai yang bisa ikut menghubungkannya. Dan di sisi lain, pembaharuan nilai-nilai khasanah seni yang disajikan melalui festival, merupakan wujud dari kesadaran bahwa bagaimana suatu arah perubahan dirumuskan dan diekspresikan melalui karya senibudaya. Berbagai bentuk dari berbagai disiplin senibudaya dan berbagai jenis ekspresi kebudayaan disajikan, seperti teater, tari, musik, senirupa, tata busana, kulineri, dari yang tradisi sampai dengan yang modern dan yang bersifat eksperimentatif. Semuanya adalah usaha untuk terus menjaga bahwa kehidupan kebudayaan melalui senibudaya bisa terus terjaga dan terus hidup melalui proses dinamika warga yang merasa memiliki khasanahnya itu.

Seni yang memanfaatkaan limbah. Foto: Kiriman Fathuddin Mujahid


Festival adalah usaha untuk menciptakan suatu kohesi sosial melalui khasanah senibudaya dan sekaligus menciptakan makna reflektif dari nilai-nilai dalam rentang sejarah sosial yang dimiliki oleh masyarakat.
Dalam konteks itulah wajib bagi setiap pengelola daerah dan kota untuk selalu menciptakan suatu festival. Yang menjadi pertanyaan dan masalah yang kita hadapi, adakah festival itu bermakna seperti yang saya paparkan di atas, dan di sisi lainnya, adakah festival itu berusaha untuk menciptakan suatu terobosan strategis berkaitan dengan perubahan social yang ada di sekitarnya?
Kita banyak mendengar dan membaca tentang berbagai festival yang dikaitkan dengan usaha pemda untuk meningkatkan dunia pariwisata. Hal ini baik saja, bahkan sangat perlu karena dunia pariwisata bisa ikut menciptakan gairah ekonomi industri dan bisa berdampak peningkatan nilai-nilai tambah ekonomis bagi warga pengelola khasanah senibudaya. Hanya saja, kelemahan dari pengelola pariwisata dari pihak instansi pemerintah maupun swasta jarang bahkan langka memikirkan sistem produksi yang didasarkan kepada basis laboratoris. Instansi pariwisata hanya ingin melihat barang yang sudah jadi, tanpa mau menyiapkan ruang laboratorium bagi pengembangan khasanah senibudaya.
Di balik itu, ada masalah lain, instansi yang mengelola kepariwisataan tak pernah berpikir bahwa sesungguhnya suatu festival bisa dijadikan icon, tanda utama di dalam dunia kebudayaan, dan menjadi ciri unik dan otentik yang menjadi titik tolak bagi suatu perkembangan masyarakat. Tentu saja jika hal itu ingin diraih, maka instansi kepariwisataan haruslah terbuka manajemennya khususnya sehubungan dengan usaha-usaha menjaga proses kelangsungan kehidupan berbagai tatanan nilai yang ada di dalam masyarakat, yang membutuhkan pelacakan, riset dan tafsir kritis.
Berkaitan dengan hal itulah, lontaran gagasan suatu festival ekologis untuk kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah sangat dibutuhkan. Selama ini tak ada suatu festival dengan tematik yang berfokus kepada sistem ekologi yang ada di lingkungan masyarakatnya. Tentu saja, setiap khasanah senibudaya memiliki satu pijakan ekosistem. Tapi selama ini disajikan semata-mata hanya sekadar dengan pendekatan performing art dan visual art, dan itupun dengan berbagai kelemahan di dalam pengelolaan manajemen panggung.
Festival ekologis sangat dibutuhkan oleh kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah dalam kaitannya untuk mencari tanda utama (icon), dan sekaligus sebagai proses pendidikan tentang lingkungan hidup yang berkaitan dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Berhikmat kepada ekosistem dengan kesadaran kepada lingkungan hidup di antara krisis global yang sangat berpengaruh kepada lingkungan lokal, maka festival ekologi mendasarkan diri kepada upaya untuk menciptakan kesadaran tatanan nilai melalui suatu tafsir dan rumusan baru tentang ruang kehidupan untuk masadepan.
Saatnya kini Pemda kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah mengubah paradigma festival dan menjadikan wilayah Sulawesi Tengah sebagai tolok ukur di dalam penyelenggaraan festival yang bersifat alternatif, menjadikan visi dan strategis ekologis sebagai dasar bagi penyelenggaraan khasanah senibudaya dalam bentuk festival yang semata-mata bukan hanya seni pertunjukan dan senirupa dalam konsep konevensional.
Dalam kaitannya dengan lontaran di atas itu, sudah semestinya Dewan Kesenian Palu (DKP), Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST), Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata serta Taman Budaya Sulawesi Tengah (TBST) membuka diri dan melibatkan berbagai komunitas dari berbagai disiplin serta kaum akademisi dan pemikir kebudayaan untuk membentuk suatu forum dialog, suatu forum gagasan kritis untuk mengkaji kembali serta merumuskan berbagai pemikiran visioner untuk kehidupan mendatang bagi generasi muda-remaja-anak-anak pemilik masa depan, pewaris khasanah kebudayaan. ***

Pos terkait