Oleh : Sofyan Arsyad
SUATU ketika, seorang sahabat menjumpai Nabi Muhammad Saw. “Ya Rasul, berikanlah aku wasiat”. Nabi pun berkata, “Laa taghdab”. Janganlah Engkau marah. Karena tak puas, pertanyaan sama diulang. Dan jawaban sama didapat. Hingga berulang kali. Nabi tetap mewasiatkan; Laa taghdab.
Ulama berbeda pendapat tentang hadis ini. Karena yang bertanya sosok temperamental (mudah marah), maka wasiat yang diterimanya seperti itu. Jangan marah. Begitu pendapat sebagian ulama. Ulama lain meneropong dari sisi lain. Kata mereka, konsistensi jawaban Nabi tersebut adalah isyarat bahwa kemuliaan seseorang akan tetap terjaga jika ia mampu mengontrol emosinya.
Menahan emosi bukanlah pekerjaan mudah. Kawan saya bilang, ia lebih sanggup disuruh menahan lapar dan ngantuk daripada diminta menahan marah. Bahkan lebih berat dari itu. Diriwayatkan Ibnu Bathal, Nabi menyatakan, mengontrol emosi diri sendiri itu jauh lebih berat daripada mengontrol musuh.
Wasiat Nabi “jangan marah”, cukup relevan di era kini. Masa ketika jati diri bangsa yang dulu dikenal ramah, santun dan pandai memilih tutur kata baik kini terasa mulai bergeser. Tak pilih kaum terpelajar, mereka yang di gedung terhormat, atau kalangan “patah pensil”.
Kita saat ini dengan mudah menjumpai orang yang suka berdebat (mencari lawan berdebat) dan hoby melontar kritik dengan kalimat pedas. Tapi secara bersamaan ia mudah tersinggung, gampang marah dan senang jika orang lain ikut menyebar ujaran kebencian.
Ada orang, yang telinga dan mulutnya telah terbiasa mendengar atau melontarkan kata-kata beraroma kemarahan. Entah secara verbal, offline maupun online (medsos). Visual atau non visual. Di panggung politik atau sesekali (oknum) di mimbar dakwah.