(Antara Kualitas, Adab dan Martabat)
Oleh Muhd Nur Sangadji
ARTIKEL ini saya tulis di pesawat untuk penerbangan Palu-Makassar-Surabaya. Harus di pesawat untuk mendapatkan nuansa kekiniannya atas kejadian yang saya alami sendiri.
Saya marah besar di bandara Sis Al Djufri Palu Sulawesi Tengah. Kali ini, marah karena kecewa dengan model pelayanan publik negeri berkait kewajiban validasi test Covid saat berangkat. Pada tahun 2006 saya pernah, bukan cuma marah, tapi langsung memimpin demonstrasi di Bandara Sukarno Hatta. Itu, lantaran para penumpangnya diperlukan tidak adil oleh salah satu maskapai penerbangan.
Pasalnya, banjir rob di toll menuju bandara. Semua penumpang, bahkan pilotnya terlambat. Pesawat tidak bisa terbang. Tapi, maskapai memaksa penumpang membeli tiket baru. Demo itu berhasil. Maskapai batal memaksakan tabiat kapitalisme yang tidak masuk akal itu. Post major yang dibebankan ke publik. Dari kejadian di Cengkareng itu, saya berpandangan bahwa hak-hak publik itu harus diperjuangkan. Tidak boleh diam, menerima. Sebab kalau tidak, kita akan dipaksa mengalami kembali.
*****
Kejadiannya berulang pagi ini di bandara Palu, Sabtu (12/02/22). Saya memang sangat peka dengan hal yang berkaitan dengan pelayanan publik. Ada antrian panjang menunggu giliran. Saya ada dalam barisan itu. Di depan tertera tiga komputer. Tapi, tidak ada satu pun petugas yang membimbing.
Bayangkan, sejumlah penumpang awam berjubel di situ. Disebut awam, karena dipastikan tidak faham bagaimana menggunakan komputer. Mereka dipaksa mengisi sendiri biodata untuk validasi test covidnya.
Di tengah kepanikan itu, ada banyak yang berbisik. Kalau begini cara pelayanannya, kita akan ditinggal pesawat. Tiket kita akan hangus. Berapa kerugian yang diderita? Apalagi bila yang berangkat satu keluarga atau satu rombongan. Saya tidak tahu, apakah hal begini sudah sering di sini? Bagaimana dengan pelayanan di seluruh bandara di tanah air? Apriori, mirip. Karena beberapa kejadian yang terekam media, bisa menjadi sampel.
Digitalisasi pelayanan publik adalah sesuatu yang niscaya. Konsekuensi modernisasi. Namun, tujuan besarnya adalah, kemudahan, kesederhanaan. Atau dengan kata lain, efektif dan efesien. Kalau, digitalisasi berefek memperlambat, rumit dan bertele-tele. Lantas, untuk apa digitalisasi dihadirkan dengan korbanan biaya yang tidak kecil.
*****
Saya ingat pada awal merebaknya virus ini. Test covid dilakukan di berbagai laboratorium. Kertas tanda bukti, divalidasi di kantor kesehatan. Di bandara, tinggal tunjukkan ke petugas. Selesai. Mudah sekali. Tidak ada masalah. Kita langsung naik pesawat. Beberapa saat kemudian, kebijakan berubah. Bisa validasi di bandara. Petugas tinggal membubuhkan tanda tangan dan cap. Selesai. Penumpang sudah boleh berangkat. Simpel dan lebih sederhana sekali.