Oleh : Muhd Nur Sangadji
Memanen Buah Dari Balkon. Rumah kami berkategori RSS (Rumah Sangat Sederhana). Dibuat untuk dicicil oleh Dosen dan pegawai Universitas Tadulako. Dibangun sekitar 30 tahun silam. Oleh sebuah perusahaan bernama PT Tiga Muda.
Letaknya di daerah perbukitan dengan kesulitan mengakses air bersih. Rumahnya bertipe 36 dengan satu ruang tamu, satu dapur dan dua kamar kamar tidur. Luas halaman cukup sempit. Atas kondisi ini, maka banyak dosen merehab rumahnya secara vertikal. Saya salah satunya. Di balkon atau teras lantai dua inilah, kita bisa menikmati ruang yang cukup. Dari sini pula, pemandangan lembah dan teluk Palu, tertatap indah. Tapi, dari balkon ini juga, saya dan keluarga leluasa memanen buah dari pohon yang tumbuh melingkar.
Bisa begitu, karena halaman rumah ini dihiasi hampir 40 jenis tanaman. Angka itu saya peroleh dari hitungan langsung para mahasiswa yang mengambil mata kuliah ekologi tanaman. Mereka menginventarisasikan jenis dan jumlah. Untuk kemudian, mereka hitung dominansi, frekwensi dan kerapatannya.
*****
Saya dan Isteri sengaja mengurung rumah kami dengan tanaman dan pepohonan. Ada mangga, Nangka, Sukun, Jambu, Sawo, Alpukat, Delima, Kelor, Jeruk, Kelengkeng, Ubi kayu dan lainnya.
Pohon yang terdekat dengan balkon rumah adalah Jambu, Sukun dan Sawo. Tapi, yang siap panen adalah jambu. Orang Palu menyebutnya, Jambu Maku. Saat masih muda berwarna putih. Tapi ketika matang, berwarna merah mengkilap. Rasanya manis sekali. Pokoknya sangat menggoda selera.
Pagi ini, 19 Februari 2023, sebelum ke Jakarta. Saya sempat memanen beberapa buah yang sangat dekat dengan jangkauan tangan. Sebelum ke bandara, Saya singgahkan ke acara Rakernas Pelti Provinsi Sulawesi Tengah. Kepada ketua Pelti, Kanda Moktar Deluma saya serahkan sambil berkata, “Ini hasil panen dari balkon rumah, setengah jam yang lalu. Warnanya menarik, teksturnya lembut dan manis serta segar”.
*****
Di bagian luar pagar, juga dikelilingi pohon lain. Tapi, waktu panen selalu berlomba cepat dengan khalayak. Tidak mengapa. Kami telah relakan untuk publik. Kami jadikan dia, milik publik. Siapa saja boleh memanennya. Gerald Hardin menyebutkan dalam bukunya, “the tragedy of the common”. Dia bilang ; “Every body property, no body property”. Itu, konsekwensi.
Makna tulisan Gerard Hardin itu begini. “Kalau semua orang merasa memiliki maka sesungguhnya tidak orang yang punya”. Dengan begitu, orang bebas saja mengambilnya. Inilah titik awal munculnya gagasan privatisasi dalam penguasaan sumber daya alam.
Tapi bisa bungkus fenomena Hardin ini dengan spirit keikhlasan. Mengapa? Agar, orang memanen tanaman kita. Insya Allah, kita memanen pahalanya.
Tahun 2004, saya ikut seleksi sebagai tenaga ahli di UNDP-UN untuk program “Good governance”. Pada salah satu bentuk test digital terdapat soal untuk memilih dua rumah sebagai pusat kegiatan. Rumah yang satu tanpa pohon di halaman. Dan, satunya lagi banyak pohonnya. Jawaban yang benar adalah tanpa pohon. Itu karena dasar berfikirnya adalah “Security”.
Sekarang, karena saya sudah bukan lagi tenaga ahli di Undp untuk program tersebut, maka saya memilih rumah yang di kelilingi pepohonan. Dasarnya, supaya kita bebas menghirup udara segar (fresh oxygen). Dan, agar kami bisa memanen buahnya dari balkon (teras lantai dua) rumah kami. Semoga. 🤲🤝👌🏻
(Penulis adalah Assoc Prof Bidang Ekologi Manusia.pengajar mata kuliah pendidikan karakter dan anti korupsi Universitas Tadulako)