Oleh Hasanuddin Atjo
“Lompat Jendela”, dan bisa dimaknai proses memperoleh sesuatu minim pertimbangan standar semestinya, seperti knowledge, skill dan attitude. Boleh dibilang hal ini telah menjadi kebiasaan yang mengarah sebagai budaya dinegeri berkode komunikasi seluler + 62 ini.
Baca juga : Gagasan Hasanuddin Atjo Menuju Indonesia Emas 2045
Fenomena ini terlihat pada sejumlah proses.Seperti diangkat jadi pegawai, pengisian jabatan eselon. Lebih parah lagi sudah menular ke lembaga penyelenggra pendidikan dihampir semua tingkatan. Ini bisa diindikasikan semakin banyak pimpinan perguruan tinggi yang berhadapan dengan kasus hukum.
Padahal lembaga yang notabenenya sebagai “pabrik SDM” ini, diharapkan mampu melahirkan SDM yang berdaya saing guna memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah seperti produksi di sektor pangan, energi dan tambang serta pariwisata.
Karena itu wajar saja kalau nilai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita di negeri ini sulit naik, bertengger pada angka 4 ribuan US dolar, tertinggal dari negara tetangga. Muaranya angka kemiskinan, pengangguran dan angka stunting negeri ini tergolong tinggi.
Tak hanya di situ. Dalam proses penyelenggaraan negara terkait hajat hidup orang banyak juga terimbas oleh budaya itu. Menang tender pada proyek pemerintah, tawar menawar membayar pajak, praktek kriminalisasi dan mafia kasus, juga ikut meramaikan budaya lompat jendela itu.
Perangkat Desa tidak mau tertinggal dengan budaya lompat jendela. Sudah banyak kepala desa yang berhadapan dengan hukum, karena terlibat dalam menyelewengkan bantuan dana desa yang lumayan besarnya antara Rp1 dan 1,5 milyar rupiah dan trendnya makin lama makin masif.
Penyelenggaraan pesta demokrasi di negeri ini seperti Pileg, Pilpres, Pilkada serta Pilkades, dinilai ikut “memupuk” tumbuh dan suburnya budaya lompat jendela itu . Mengembalikan modal dan utang balas budi menjadi alasan utama pemenang kontestasi, ketika ditanyakan tentang maraknya budaya itu. Tidak heran banyak kepala daerah dan anggota legislatif ikut terseret pelanggaran hukum.
Ditengarai sejumlah kalangan, bahwa attitude, perilaku SDM menjadi salah satu biang kerok terhadap makin subur dam masifnya praktek budaya lompat jendela itu. Ini bisa terjadi karena ada kesepahaman dan kesepakatan antara subjek dan objek dengan syarat tertentu yang tidak tertulis, dan terlihat semakin menjadi jadi. Kompetensi bukan lagi menjadi bahan pertimbangan utama.