LAGU September Ceria yang dinyanyikan Vina Panduwinata mengalun merdu di pagi hari yang cerah. Lagu penuh pengharapan tersebut dikirim oleh seorang teman via media sosial ikut menemani penulis menimba pengalamandi negeri orang. Kesempatan belajar tersebut diberikan untuk membangkitkan semangat agar bisa mengabdikan diri lebih baik lagi bagi kota tercinta. Betapa tidak, sebuah kota kecil yang untuk kesekian kali penulis kunjungi tetap saja membuat decak kagum bagaimana sebuah kota dikelola dengan sangat baik. Seluruh aspek pembangunannya ditujukan bagi kepentingan warga kotanya. Dari membangun pusat industri yang ramah lingkungan sampai menempatkan pot-pot bunga dengan sentuhan artistik yang luar biasa.
Udara bersih jugamenjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebaikan itu. Bunga-bunga yang berwarna warni ikut menghiasi seluruh sudut kota. Taman kecil di beberapa bagian pusat keramaian nampak terawat dengan sangat baik. Tak terlihat sedikitpun sampah berceceran. Sungai Viscan yang melintas tepat di tengah kota membawa aliran air yang sangat jernih dengan beberapa angsa berenang di sekitar pusat pemberhentian bus kota di City Center. Sebuah harmonisasi pertemuan dua aktivitas kehidupan yang sangat berbeda.
Lalu apa yang membuat kota ini bisa membangun suasana yang nyaman seperti itu. Friederich Hjelm, salah satu arsitek kota Boras menceritakan betapa perjalanan untuk menuju kearah itu membutuhkan waktu yang sangat panjanghingga berbilangpuluhan tahun. Kota ini dulunya adalah sebuah kota yang dipenuhi aktifitas industri tekstil yang memproduksi limbah buangan berbahaya disepanjang sungai Viscan. Kemudian muncul seorang walikota yang mempunyai visi yang jelas untuk merubah kota yang lebih berkarakter. Maka sebuah impian membangun kota dengan karakter budaya mulai diwujudkan.
Bangunan tua tetap dipertahankan meskipun fungsinya hari ini telah berubah. Nyaris tak ada lagi bangunan industri tekstil yang tetap berfungsi seperti dahulu kala, tetapi nuansa bangunan tekstil itu tetap terjaga. Lihat misalnya kafetaria yang dibangun di salah satu kampus.
Sebuah desain meja makan yang dibuat menyerupai mesin pemintal benang, lengkap dengan lampu penerang yang didesain menyerupai alat perlengkapan para pekerja tekstil. Sebuah desain interior yang dibuat dengan sentuhan estetika modern yang mempunyai fungsi ganda, sebagai kelengkapan interior dan sekaligus sebagai penanda untaian sejarah. Berharap agar jiwa dari kota tak hilang tetelan masa.
Sebuah patung Pinokio dibangun setinggi 5 meter yang seolah sedang berjalan menuju kearah pusat pendidikan. Konon makna filosofisnya adalah jika engkau (Pinokio) ingin menjadi manusia maka engkau harus belajar. Dan kemudian berbagai bentuk artistik muncul di mana-mana. Tidak hanya dalam wujud tokoh atau manusia tetapi wujud dan simbol-simbol lain yang penuh makna.
Pada saat kunjungan belajar berlangsung, sebuah aktivitas seni sedang dihelat di kota ini. Street Art namanya, beberapa dinding bangunan di berbagai sudut kota dilukis oleh para seniman pilihan. Seniman yang hadir bukan hanya dari kota setempat namun dari belahan penjuru dunia yang lain, seperti Canada, Inggris dan beberapa negara lain. Ada yang melukis dalam skala sangat besar dengan ukuran puluhan meter sampai dengan ukuran yang hanya beberapa sentimeter saja. Dan setiap bentukan seni tersebut dijelaskan dalam sebuah leaflet panduan yang menggambarkan tentang nama seniman, obyek yang dikerjakan, makna obyek sekaligus sumber pembiayaannya.Kegiatan ini dikelola oleh sebuah lembaga non profit dan didukung penuh oleh pemerintah setempat.
Kontradiksi bangunan tua dan bangunan modern tak terasa dengan hadirnya berbagai benda-benda seni yang ‘berserakan’ di seluruh sudut kota. Mata dimanjakan oleh visualisasi penataan sebuah ligkungan perkotaan yang disentuh oleh tangan-tangan trampil dalam mewujudkan nilai-nilai seni didalamnya. Nampaknya kegiatan semacam ini terus dipertahankan dari waktu ke waktu. Dari ketiga kunjungan penulis ke kota ini dalam kurun waktu tiga tahun selalu saja ada sesuatu bentukan tangan seni yang baru. Tentu saja bentukan seni yang terpasang tidak hanya sekedar hadir namun melalui seleksi yang sangat ketat oleh sebuah tim yang dibentuk melalui gabungan antara pemerhati seni dan pengelola kota.
Dan yang paling menggembirakan tak nampak atribut iklan yang mengotori visual kota. Papan reklame hanya terpasang di luar pusat kota, seperti di kawasan industri dan kawasan bandara. Warga kota tidak dijejali dengan godaan iklan atas barang-barang yang bersifat konsumtif.
Mungkin memang kita tidak harus meniru apa yang mereka buat. Tetapi semangat membuat kota menjadi nyaman untuk dihuni adalah hal yang perlu dipelajari. Menahan diri untuk tidak mengotori wajah kota perlu menjadi bagian dari hal-hal baik yang bisa ditiru.***