Oleh Firima Zona Tanjung
Learning loss atau penurunan kemampuan belajar merupakan isu yang santer digaungkan sejak pandemi COVID-19 melanda dunia. Isu ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Artikel ilmiah berjudul “An Investigation of the Summer Learning Effect on Fourth Grade Students’ Reading Scores” yang ditulis oleh Campbell, Sutter, dan Lambie pada jurnal Reading Psychology, volume 40(5) tahun 2019 menyatakan bahwa kemampuan membaca anak menurun atau mengalami keterbatasan pertumbuhan setelah liburan musim panas di Amerika Serikat.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Malawi, Slade dkk memublikasikan penelitian mereka terkait kemampuan membaca siswa sekolah dasar pada jurnal Research in Comparative and International Education, volume 12(4) tahun 2017. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa transisi pergantian tahun akademik memengaruhi perolehan pertumbuhan kemampuan membaca anak.
Kedua riset tersebut membuktikan bahwa isu learning loss telah terjadi bahkan jauh sebelum munculnya keterjangkitan virus COVID-19. Selain itu, learning loss yang dimaksud hanya berfokus pada kemampuan membaca anak. Padahal apabila ditelusuri lebih lanjut, learning loss bisa saja terjadi pada keterampilan atau kompetensi di semua mata pelajaran.
Tambahan pula, kondisi learning loss akan semakin buruk dengan adanya ketimpangan akses belajar dan kualitas pendidik, kurangnya kepedulian orang tua, dan kondisi sosioekonomi pemelajar itu sendiri. Karenanya, learning loss harus didefinisikan secara kontekstual sebab keragaman faktor pencetus dan rekomendasi solusi penyelesaiannya pun adalah sebuah keniscayaan.
Learning loss di Indonesia
Pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ) sejak pertengahan Maret 2020 lalu telah menyebabkan perubahan besar-besaran pada wajah pendidikan Indonesia. Adapun tujuan perubahan ini guna menjamin keselamatan serta kesehatan pendidik maupun pemelajar, baik pada jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Namun demikian, penyelenggaraan proses belajar mengajar secara daring ini ternyata berimbas negatif pada pemelajar, yaitu penurunan kemampuan belajar atau learning loss.
Laporan bertajuk “Indonesia Under the New Normal: Challenges and the Way Ahead” dari Sparrow, Dartanto dan Hartwig pada Bulletin of Indonesian Economic Studies, volume 56(3), tahun 2020 menyuguhkan data survei yang menunjukkan bahwa sekolah kurang siap dalam memitigasi pemelajar yang mengalami learning loss akibat pelaksanaan PJJ. Setidaknya hanya 69% sekolah dasar dan 71% sekolah menengah yang telah berupaya melakukan mitigasi dengan agenda memberikan pembelajaran tambahan.
Selanjutnya, temuan penting yang dihimpun Arsendy dkk (2020) pada “Riset dampak COVID-19: potret gap akses online ‘Belajar dari Rumah’ dari 4 provinsi” menunjukkan selama PJJ, pendidikan dan pekerjaan orang tua berkontribusi pada akses belajar. Masih berkaitan dengan akses belajar, Alifia dkk (2020) “Learning from Home: A Portrait of Teaching and Learning Inequalities in Times of the COVID-19 Pandemic” menyatakan apabila masalah ketimpangan akses belajar terus terjadi maka learning loss akan lebih sering dialami oleh anak-anak dari kelompok rentan atau sosioekonomi lemah. Selain itu, faktor kurangnya komunikasi antara orang tua dan guru juga ikut berdampak pada intensitas diskusi sekaligus pengawasan perkembangan belajar anak.
Kemudian, secara spesifik, Totok Suprayitno, Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud, sebagaimana dilansir dari portal Itjen Kemdikbud (1 Maret 2021), menyebutkan bahwa kemampuan matematika dan membaca merupakan dua kemampuan paling terdampak selama pelaksanaan PJJ.
Berdasarkan data riset di atas, faktor-faktor pencetus learning loss yang terjadi di Indonesia selama pandemi COVID-19 antara lain ketimpangan infrastruktur atau akses belajar, kesiapan sekolah, dan partisipasi orang tua. Tambahan pula, matematika dan membaca merupakan dua kemampuan yang harus mendapatkan perhatian lebih, tentunya tanpa menyampingkan kemampuan akademis lainnya dan pendidikan karakter.
Upaya Pemertahanan Pendidikan Berkualitas
Guna mengatasi learning loss selama PJJ, langkah-langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, guru harus menganalisis kesenjangan belajar (learning gaps) yang dialami oleh siswa atau pemelajar. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa sekaligus kebutuhan belajar mereka. Hasil analisis kemudian dapat dipetakan sehingga perencanaan pembelajaran pun dapat tepat sasaran.
Kedua, orientasi capaian adalah kompetensi esensial dan prasyarat. Karenanya, siswa tidak dibebani tugas untuk menuntaskan seluruh capaian kurikulum. Titik beratnya ada pada fleksibilitas sekolah dalam menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa. Oleh karena itu, kompetensi yang dimiliki para siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya juga akan sangat unik dan kontekstual.
Ketiga, guru harus mengutamakan personalisasi dalam penyelenggaraan pembelajaran. Setiap siswa dilibatkan dalam kolaborasi proyek sederhana, diskusi grup kecil yang menyenangkan, dan dipantau perkembangan keterampilan atau kompetensinya. Personalisasi sendiri amat berkaitan dengan kebutuhan belajar personal siswa. Karenanya, skenario pembelajaran, model pembelajaran, maupun strategi pembelajaran perlu direncanakan secara optimal dengan memperhatikan kebutuhan belajar dan kemampuan awal mereka guna memfasilitasi dan memastikan semua siswa benar-benar belajar pada masing-masing rombel.
Keempat, guru dan orang tua perlu melakukan sinergi, baik dalam komunikasi secara dwi-mingguan atau manakala orang tua ataupun guru mempunyai problematika seputar perkembangan belajar siswa. Selain itu, pihak perguruan tinggi juga dapat berkontribusi dalam memitigasi learning loss pada satuan pendidikan dasar dan menengah dengan melakukan penelitian kolaborasi serta merekomendasikan upaya-upaya pemertahanan pendidikan berkualitas berdasarkan hasil penelitian terkini.
Adapun rekomendasi tersebut dapat langsung disampaikan ke pihak sekolah sebagai mitra perguruan tinggi atau melalui dinas pendidikan sehingga dapat menjadi usulan yang dipertimbangkan pada formulasi kebijakan pendidikan yang terkonsentrasi pada kebutuhan satuan pendidikan di daerah setempat, seperti penyediaan akses belajar, pembangunan infrastruktur terpadu, pelatihan pengembangan keterampilan literasi digital bagi guru, pelatihan pembuatan media pembelajaran daring berbasis kearifan lokal, ataupun rencana kerjasama antara satuan pendidikan dengan pihak penyedia layanan telekomunikasi guna menyukseskan penyelenggaraan PJJ.
Kelima, guru dan orang tua sebagai figur yang paling dekat dengan siswa harus menjaga konsistensi dan komitmen yang kuat untuk membersamai siswa dalam proses belajar mengajar. Konsistensi guru dapat dilakukan dalam penyampaian materi, penugasan terstruktur, asesmen diagnosis kognitif berkala berupa tes pilihan ganda, pilihan ganda beralasan, dan esai, dan yang tidak kalah pentingnya adalah refleksi pembelajaran.
Sementara itu, konsistensi orang tua bisa diwujudkan dengan mendampingi anak selama belajar daring, meluangkan waktu untuk beraktivitas fisik bersama anak selama di rumah, menerapkan jam belajar secara konsisten, mendiskusikan serta membagi peran secara jelas antara ayah dan ibu khususnya pada pendampingan pendidikan anak, baik yang bersifat kognitif, psikomotorik, afektif dan penguatan nilai-nilai karakter, serta penguasaan kecakapan hidup.
Pada akhirnya, kelima langkah strategis di atas membutuhkan sinergi antara sekolah, orang tua, perguruan tinggi dan penyelenggara pendidikan agar pemertahanan pendidikan berkualitas bagi generasi Z dan Alfa niscaya untuk direalisasikan dan potensi learning loss dapat ditekan di masa pandemi dan pascapandemi nantinya. ***
*Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Borneo Tarakan