Solusi Harga Beras

  • Whatsapp
Nur Sangadji. Foto: Istimewa

(Mari memulainya dari konsumsi )

Bagian ke Dua

By, Nur SANG ADJI

Kompilasi atas tulisan Saleh Awal dengan judul .. “Kenaikan harga beras dan tantangan perekonomian Indonesia”.

————
Mengapa harus dari konsumsi. Alasannya sederhana sekali. Kalau tidak banyak lagi orang Indonesia konsumsi nasi. Maka, kita tidak perlu susah susah menyediakan beras yang banyak. Tapi, bagaimana caranya..?

Ajari generasi tentang bahaya konsumsi nasi berlebihan. Juga, tentang manfaat pangan non beras. Sebagai contoh, nasi akan memicu gula yang beresiko diabetes. Sementara, pangan non beras seperti sagu memiliki ketahanan pati (resistance Starch) tinggi. Amat bermanfaat terutama, untuk detoksifikasi bagi kesehatan usus.

Begitu juga, mempromosikan sayur dan buah buahan. Ini semua selain mengerem konsumsi nasi. Bermanfaat juga untuk pemenuhan gizi yang seimbang. Dengan begitu, berguna untuk tujuan kesehatan.


Pengetahuan yang menggugah kesadaran pangan sehat ini harus dimulakan sejak sekolah dasar. Diikuti dengan revitalisai sejumlah program penunjang. Misalnya, program diversifikasi pangan.

Semboyan “one day no rice” atau two days no rice. Harus didengungkan ulang dan terus menerus melalui kampanye berstruktur.

Tindakan ini diharapkan dapat menurunkan konsumsi perkapita beras kita. Bila angka ini telah turun maka pacuan produksi untuk penuhi permintaan menjadi makin ringan.


Hal berikut berkaitan dengan suplai alias penyediaan. Hal yang ini berkaitan dengan tingkat produksi. Setiap tanaman punya potensi produksi optimal. Misalnya kalau ada daerah di Indonesia mampu mencapai 8 ton gabah kering per hektar. Dan, di tempat kita hanya mencapai 4 ton saja untuk varietas yang sama. Berarti, masih ada potensi produksi 4 ton yang bisa kita genjot.

Periksa segera sarana produksi dan sistem usaha taninya. Pastikan masalahnya ada di mana ? Apakah pada ketersediaan bibit, pupuk dan pestisida ? Atau, pada lahan dan irigasi ? Dan atau, pada aspek hilir berkaitan dengan pemasaran ?

Saat artikel ini saya tulis, di radio saya dengar pernyataan petinggi di Jakarta. Katanya, harga beras naik karena harga gabah di tingkat petani melambung tinggi. Angka standar yang harusnya 5000 an, menjadi sekitar 8000 an. Inilah yang memicu meroketnya harga di tingkat konsumen.


Saya merenung dalam kesedihan. Bukankah, kalau harga beras di tingkat petani naik, itu bagus bagi picuan produksi. Bukankah selama ini nasib petani kita seperti sapi perah ? Membanting tulang menyiapkan pangan untuk kita, tapi menderita dalam perolehan imbalan harga ? Karena itu, nilai tukarnya (NTP) selalu rendah ?

Pemerintah tentu akan berfikir menyeluruh. Karena selain memperhatikan kesejahteraan petani sebagai produsen, juga daya beli masyarakat sebagai konsumen. Namun dalam fakta, kebijakan terkadang tidak seimbang.

Misalnya, kebijakan “Floor and Ceiling Price”, harga bawah dan atas pada gabah petani. Dikontrol ketat. Sementara harga Saprodi, bibit, pupuk, pestisida. Dan atau, harga alsinta yang tidak punya batas atas bawahnya. Membuat petani tercekik. Tidak boleh jual harga gabah mahal. Tapi, dipaksa membeli sarana produksi yang harganya naiknya semaunya. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan jebakan tengkulak. Jadi, kita butuh kehadiran pemerintah secara adil untuk semua secara konsisten. Tanpa itu, semuanya sia-sia. Sayaaang sekali. ***

Pos terkait