Oleh Firima Zona Tanjung (Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Borneo Tarakan)
PENDIDIKAN di negeri ini terus berbenah menuju penyelenggaraan yang lebih akomodatif, tidak hanya bagi kalangan pendidik melalui program pengembangan kompetensi, tetapi juga untuk peserta didik di semua jenjang, termasuk pendidikan tinggi. Hal tersebut patut diapresiasi, terlebih pada 3 pilar konsep Deep Learning yang diperkenalkan belum lama ini, diantaranya mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Selanjutnya, tulisan ini akan berfokus pada perspektif personal saya terkait salah satu pilar, yakni mindful learning.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa pembahasan mindful learning bisa menyentuh aspek yang begitu luas. Karenanya, saya mencoba mengeksplorasi pilar ini dengan utilisasi istilah “mindful”.
Secara literal, istilah asing ini mempunyai padanan “fokus dan mempunyai kesadaran penuh akan apa yang terjadi disekitarnya” dalam bahasa Indonesia. Secara ringkas, kata mindful dalam konteks pembelajaran bermakna peserta didik lebih bersungguh-sungguh, bukan hanya ketika mengerjakan tugas yang diberikan, tetapi juga mencurahkan segenap atensi dan keterlibatan penuh dalam aktivitas kelas.
Lantas, bagaimana pendidik mewujudkan pilar mindful learning ini di dalam kelas, khususnya pada pembelajaran bahasa Inggris bagi para mahasiswa pada konteks pendidikan tinggi di Indonesia?
Langkah pertama adalah menciptakan lingkungan belajar yang suportif. Hal ini dapat terwujud ketika mahasiswa merasa dihargai, saling menghormati, dan diberikan keleluasaan mengekspresikan pemikiran mereka. Selain itu, dukungan dan tantangan yang diberikan secara bertahap dalam setiap pengerjaan tugas juga penting untuk meningkatkan motivasi mereka.
Beberapa upaya diatas bersesuaian dengan konsep Cooper dan Boyd dalam buku Mindful Learning dan hasil riset Wang dan Liu pada The IAFOR Journal of Education Volume 4, Nomor 2, tahun 2016. Tentu saja, proses uji coba diperlukan guna memformulasi cara terbaik menciptakan lingkungan belajar yang suportif bagi komunitas belajar agar lebih mindful.
Teknik lain yang potensial dilakukan adalah meditasi. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa yang telah diperkenalkan dengan materi, misalnya melalui teks bacaan, diminta duduk dengan nyaman untuk memusatkan pikiran pada pembelajaran. Fasilitasi atmosfer ketenangan ini membantu mahasiswa mengidentifikasi kendala dan solusi alternatif kendala belajar secara umum atau memahami materi teks secara khusus.
Selanjutnya, hasil identifikasi mereka tersebut dapat dituliskan dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia jika masih mengalami kesulitan memilih kosakata yang tepat dan didiskusikan secara berkelompok dengan pendampingan dosen. Tentu saja, dengan teknik meditasi, dosen tidak melulu berfokus pada upaya transfer pengetahuan dan navigasi aktivitas pembelajaran, melainkan turut andil membuka cakrawala minda mahasiswa untuk melihat kedalam diri mereka, potensi yang bisa ditingkatkan, serta mengubah kelemahan menjadi sumber energi untuk terus belajar.
Sikap skeptis dimaklumi atas integrasi teknik meditasi pada aktivitas pembelajaran terlebih dalam konteks pendidikan Indonesia dengan tantangan kelas besarnya, tetapi beberapa peneliti, sebut saja Patton dkk (2019), Testoni dkk (2020), Pinto dkk (2023), dan Yun dkk (2020), membuktikan bahwa meditasi berimbas kuat pada persona peserta didik secara psikologis, kognitif, dan performa akademis. Karenanya, teknik ini bisa diformulasikan dengan mempertimbangkan aspek jumlah mahasiswa, tujuan pembelajaran, dan poin-poin peting aktivitas agar tetap mengakomodir kebutuhan belajar mahasiswa.
Selain pendekatan individu seperti meditasi, kolaborasi juga berperan penting dalam mindful learning. Melalui interaksi yang intensif, diskusi ringan, saling bertukar pikiran dan berargumen atas suatu hal akan memberi ruang ekspresi, eksplorasi, dan berpikir kritis yang konstruktif bagi mahasiswa. Sebagai contoh, saat pembelajaran keterampilan menulis atau writing, strategi Know-Want-Learn (KWL) Chart amat direkomendasikan sebab mahasiswa dapat mengkategorikan apa yang mereka ketahui, ingin ketahui, dan telah pelajari bersama anggota tim. Dengan keragaman keterampilan berbahasa, mahasiswa berkesempatan besar untuk belajar dari satu sama lain, baik dari segi kefasihan maupun akurasi. Temuan Piscayanti (2018) dalam artikel ilmiahnya The Power of Mindful Learning in Professional Development Course mendukung pernyataan sebelumnya bahwa salah satu responden risetnya menyebutkan efektivitas KWL Chart dalam merealisasikan mindful learning.
Adapun langkah pamungkas berkaitan dengan kutipan populer John Dewey bahwa manusia tidaklah belajar dari pengalaman, melainkan dari refleksi mereka atas pengalaman yang ada. Sebagai pendidik, tentunya kita senantiasa merefleksi aktivitas pembelajaran yang telah dilaksanakan, terlebih pada pengelolaan kelas, penyampaian materi pembelajaran, dan upaya mengakomodasi kebutuhan belajar mahasiswa yang tergolong teknis. Lalu, apakah cukup hanya dengan refleksi atas aspek teknis tersebut? Kenyataannya, tidak.
Apabila fokus seorang pendidik hanya pada aspek teknis dan mengesampingkan aspek psikologis mahasiswa serta atmosfer lingkungan kelas, maka interaksi di kelas akan terkesan formalitas belaka. Posibilitas negatif tersebut tentu tidak diinginkan, kan? Oleh karena itu, saya sepakat dengan Hirshberg dkk (2017) bahwa praktik reflektif begitu krusial dimiliki seorang pendidik agar kesadarannya atas apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa lebih terbangun. Ketika proses pembelajaran berlangsung dan situasi kelas tidak memenuhi ekspektasi, refleksi dapat dilakukan dengan menganalisis kebutuhan peserta didik, strategi dan instruksi apa yang efektif. Refleksi ini memang tidak mudah dilaksanakan, terutama ketika equanimity (sikap tenang) tidak dihadirkan. Karenanya, sikap tenang itu sendiri dianggap sebagai respon, bukan reaksi atas kendala dalam pengelolaan kelas. Menerima kondisi kelas yang tidak sesuai ekspektasi dengan lapang dada, kemudian mencoba meramu cara mengatasinya merupakan dua langkah awal dalam pedagogi berkelanjutan guna mengatasi situasi kompleks pembelajaran kelas. Inilah sejatinya belajar dari refleksi bagi seorang dosen.
Akhirnya, keberhasilan pendidikan tidak hanya bergantung pada performa optimum mahasiswa atau dosen saja, tetapi juga pada kolaborasi dan interaksi keduanya dalam menciptakan pembelajaran yang berkesadaran. Karenanya, saya mengajak dosen dan mahasiswa untuk bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya hubungan interpersonal dan intrapersonal serta spektrum peran masing-masing pada konteks pembelajaran di kelas secara bertahap. Dengan begitu, baik dosen maupun mahasiswa, merasa lebih berdaya, hadir, dan bertanggungjawab terhadap keberlangsungan pendidikan yang bermakna. ***