Sebab, tak jarang dalam coretannya, Kartini menyebut judul sebuah karangan dan mengutip kalimatkalimat
yang pernah ia baca. Kartini, kala itu memang membaca De Stille Kraacht karya Louis Coperus, roman-feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek, juga Die Waffen Nieder, roman anti-perang karya Berta Von Suttner.
Kartini menemukan ambang baru untuk menumpahkan segala isi hatinya dengan secara aktif menulis. Apalagi, Estelle Zeehandelaar, gadis sosialis Belanda, juga sering berbalas surat dan bertukar gagasan dengan Kartini.
Melalui tulisannya itulah Kartini menggugat tentang persamaan hak, kemanusiaan, juga feodalisme
yang mengerangkengnya dan perempuan-perempuan lain sebangsanya.
Sebagai pribadi yang tumbuh dari kalangan bangsawan yang sangat patriarkhis, Kartini ternyata mampu melampaui—betapapun terbatasnya ruang yang berhasil bisa ia lampaui—dominasi pemikiran patriarkhis yang merendahkan martabat perempuan kala itu.
R.A. Kartini, bagi saya, adalah marka dari keberanian, kemandirian, keuletan dan kecerdasan. Ia layak dijadikan simbol tentang sikap seorang perempuan yang berani menempuh jalan berbeda; betapapun, pada momen tertentu, ia dipaksa kompromistis, tak berdaya, dan gagal berkata tidak saat misalnya, terpaksa harus menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya.
Sampai di titik ini, R.A. Kartini memang bukanlah simbol kemenangan perjuangan kaum perempuan; karena ia pun ternyata gagal bahkan sekadar melepaskan diri dari jerat patriarkhi yang diterungkukan sang ayah biologisnya itu.
Ia barangkali lebih tepat diacu sebagai representasi perlawanan tak kenal lelah kaum dilemahkan, yang kapan pun selalu relevan kita jadikan acuan, di hadapan kuasa patriarkhi.
Dan, itu ditempuhnya melaui jalan literasi. Menata aksara di jalan sunyi. Karena itu, karya R.A. Kartini, Door Duisternis tot Licht, yang biasa diartikan secara harafiah sebagai ―Habis Gelap Terbitlah Terang itu sebenarnya bisa juga kita maknai secara agak lentur sebagai perjuangannya mengentaskan diri dan bangsanya ―Dari Gelap Menuju Cahaya”—”Min al-Zhulumati il an-Nuur”.
Sebuah revolusi senyap bersenjatakan aksara. Begitulah. Revolusi berbasis literasi yang ditempuh R.A. Kartini memang sebuah revolusi sunyi; dan bergerak dari tempat yang juga sunyi!
Penulis adalah pengiat Rumah Baca MIMBAR, Sukarame, Lampung