Stratifikasi Sosial

  • Whatsapp
Tasrief Siara

Oleh: Tasrief Siara, Praktisi Komunikasi Massa

INI cerita berawal dari sebuah penerbangan domestik yang saya tumpangi. Sesuai standar penerbangan internasional, kepala pramugari mengumumkan sejumlah hal keselamatan, termasuk peragaan cara memakai sabuk, dan pelampung dalam menghadapi kondisi darurat.

Bacaan Lainnya

Di pesawat itu, sebelum terbang tinggi, seorang pramugari yang masih muda dan cantik  siap menjadi peraga. Kondisi saat itu semua berjalan normal seperti biasanya  pada semua penerbangan.

Menjadi menarik ketika kepala pramugari mengumumkan:  pramugari yang akan menjadi peraga  bernama Juminten. Secara spontan, semua penumpang tertawa dan terbahak, termasuk sang pramugari “Juminten”  menghilang sejenak untuk melepas tawa.

Seorang ibu di samping saya yang juga ikut tertawa bilang, cantik-cantik koq dibilang Juminten.

William Shakespeare boleh bilang, apalah arti sebuah nama. Tapi tak untuk orang Indonesia. Nama itu bisa menjadi penanda seperti apa latar belakang sosial seseorang.

Dalam sistem sosial masyarakat kita, masih sangat sulit dihindari adanya pola-pola pelapisan sosial yang biasa disebut oleh para sosiolog dengan stratifikasi sosial. Sratifikasi ini di zaman lampau memberi garis batas antara para bangsawan dan kawula jelata.

Di zaman digital ini juga masih seperti itu namun bentuknya lain, bisa soal kepemilikan gelar akademik atau kepemilikan harta. Amati misalnya, dalam setiap pesta kawinan, pasti terdapat meja yang terkategori VIP, karena orang yang dipersepsikan VIP itu dipandang tak pantas duduk dengan yang bukan VIP.

Masalahnya, orang-orang yang menempati kotak-kotak stratifikasi itu, terkadang nama-nama mereka juga menyesuaikan dengan posisinya dalam kotak strata sosialnya.  Lihatlah misalnya, hampir semua artis terkenal di Indonesia ini memakai nama yang “direnovasi” sesuai dengan selera pasar masyarakat modern.

Makanya ketika seorang pramugari namanya disebut Juminten, orang-orang pada tertawa karena sepertinya tak elok seorang pramugari bernama Juminten. Dalam komunitas masyarakat Jawa misalnya, mereka yang merasa strata sosialnya ada di lapis bawah, ketika punya anak terkadang menyesuaikan dengan stratatifikasi sosialnya. Kalau ia di lapis bawah cukup Juminten tak boleh Widyaningrum.

Pos terkait