“TAK mudah meyakinkan masyarakat di kampung, bahwa tanaman obat yang ada di sekitar kita dan di hutan desa memiliki khasiat yang tak kalah dengan obat kimia,” kata Erni Aladjai, penulis Buku “Ramuan Nenek” bertutur kesulitannya meyakinkan penduduk nun di Kepulauan Banggai Laut, Sulawesi Tengah, tentang ramuan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat.
Warga kampungnya, sebagian besar lebih percaya dengan produk-produk yang mereka saksikan di televisi, meskipun tak semua sesuai dengan kebutuhan mereka.
Erni Aladjai, perempuan kelahiran Desa Lipulalongo, Kecamatan Labobo, Kabupaten Banggai Laut itu menuturkan, tujuannya meneliti tanaman obat dalam perawatan pasca persalinan di desanya untuk mengarsipkan agar tak hilang dari ingatan banyak orang, sebab budaya Bakalesang Lapa Monsung—perawatan perempuan pasca persalinan dengan mengandalkan tanaman obat sudah jarang dipraktikkan di desanya.
“Tujuan saya mengarsipkan tata cara dan ramuan tanam obat dalam Buku Ramuan Nenek, karena saya merasa hal itu penting, dengan kondisi desa yang merupakan pulau terluar dan jauh dari akses kesehatan, memanfaatkan tanaman obat yang mudah didapat di lingkungan sekitar bisa jadi pilihan yang memudahkan jika dilihat secara ekonomi. Namun di dalam buku ‘Ramuan Nenek, Pengalaman Perawatan Tradisional Pasca Persalinan Suku Banggai’ ini saya tak sekadar mau membicarakan tanaman obat, melainkan ada bentuk dukungan perempuan terhadap perempuan setelah persalinan, karena momen pasca persalinan sama kerasnya dengan persalinan itu sendiri, sehingga Ibu Pasca Persalinan membutuhkan dukungan dalam perawatan tubuhnya, inilah yang ada dalam budaya ‘Bakalesang Lapa Monsung’—perempuan merawat perempuan pasca persalinan,” tutur Erni, pada Diskusi Buku “Ramuan Nenek” di Halaman Kampung Buku, di Makassar, Rabu, 12 Februari 2020.
Buku Ramuan Nenek telah terbit sejak 2018. Diterbitkan dalam bentuk buku digital dimana setiap orang dapat mengunduhnya gratis. Namun untuk itu, mereka harus terhubung dengan internet. Diakuinya hal ini yang agak menyulitkan warga khususnya di desa yang sulit akses internet, sebab tak semua rumah terkoneksi dengan internet.
Sebagai orang Banggai, novelis yang karyanya telah mengantarnya terbang hingga ke San Fransisco, Amerika itu, Erni merasa bertanggung jawab mendokumentasikan perawatan kebudayaan itu dalam merawat tubuh perempuan setelah melalui kerasnya masa persalinan, apalagi setela era 2000-an, praktik perawatan ini nyaris tak pernah lagi dilakukan dalam keluarga-keluarga Banggai, bahkan banyak yang tak mengenali lagi praktik ini.
Penelitian buku Ramuan Nenek tersebut didukung oleh Hibah Cipta Media Ekspresi—hibah yang khusus mendanai perempuan dalam berkarya. Di Banggai, Erni bersama empat timnya melakukan penelitian selama tiga bulan, dia juga membuat workshop rumahan tata cara memasak tanaman obat tersebut dengan ibunya, Mardia Abdul Karim.
Dalam buku itu, Erni juga menuliskan mantera-mantera yang digunakan orang tua pada saat mulai memetik daun, berapa jumlah helai daun yang perlu dipetik, hingga saat mengunakannya. Mantera ditulis menggunakan bahasa Banggai namun diterjemahkan ke dalam Bahasa.
“Secara nilai, proses kelahiran adalah peristiwa alam yang saling terkait. Jadi tumbuhan tidak dipetik begitu saja, melainkan harus ada komunikasi yang setara antara tumbuh-tumbuhan dan manusia,” katanya.
Menurut Penerima Hibah Cipta Perdamaian dari Yayasan Kelola Jakarta ada banyak kebaikan yang diperoleh setelah melalui perawatan dengan menggunakan ramuan dari dedaunan, rimpang dan rempah yang ada di desa. Apakah dalam bentuk minuman atau spa alami dan pemijatan.
“Saya beryukur nenek saya mewariskan pengetahuan ini kepada ibu saya, lalu ibu saya kepada saya, sehingga pengetahuan tak terputus dalam generasi saya, dan saya secara pribadi meyakini tumbuh-tumbuhan jauh lebih baik dan minim efek samping,” ujar alumnus Sastra Prancis, Universitas Hasanuddin itu.