Orang Drop Pendapatan (ODP)

  • Whatsapp
H. Sofyan Arsyad. Foto: Dok

Oleh : Sofyan Arsyad

SERU juga bertetangga dengan seorang dokter. Apalagi “dokter gila”. Itu bukan kata saya. Juga bukan kata sang dokter. Menurutnya, orang sering menyebut ia dokter gila. Sebagai tetangga, saya membenarkannya.
Di mata saya, dokter ahli spesialis ortopedi ini benar-benar gila. Gila kerja. Sepulang dinas di rumah sakit/tempat praktek, ia langsung menukar bajunya dengan pakaian mirip buruh tani. Tak ketinggalan topi koboi dan sepatu bot. Kalau sudah begini, saya sering tak mengenalnya. Apalagi jika pak dokter sedang bekerja menggali, membakar dan memecah batu gajah dari dalam tanah di lahan kosong samping rumahnya.
Sudah hampir sebulan ia mengaku tidak melayani pasien/operasi bedah tulang. Tersedia banyak waktu di rumah untuk melampiaskan “kegilaannya” bekerja. Sesekali ia melepas ide baru sambil mengajak pak Manan, sang kepala tukang diskusi di lahan area kolam ikan dan wisata kuliner yang dibangunnya.
Sebelum wabah covid-19, “dokter gila” ini bercerita ia biasa mengoperasi sekira 3-4 pasien perhari. Bahkan lebih dari itu, di masa syarat operasi pemilik kartu BPJS Kesehatan dan Naker belum diperketat. Lebih gila lagi, ia mengaku pernah menangani 250 pasien sehari pada hari pertama gempa bumi dan tsunami Pasigala. Kala itu, tiga rekan dokter spesialis ortopedi di Palu mengungsi ke luar daerah.
Prihatin juga mendengarnya. Isi kantong dokter ikut kempis gara-gara corona. Tapi ia terlihat enjoy saja. Meski ikut sedih, dan memahami kondisi rumah sakit tempatnya bekerja. Peristiwa lakalantas atau lainnya mungkin saja ada. Namun pasien lebih memilih berdiam diri menahan rasa sakit di rumah, daripada ke rumah sakit dan beresiko tertular corona. Pilihan terakhir, ya dukun ahli patah tulang.
Kisah dokter ini mengingatkan pada kawan saya seorang dai. Di bulan ramadhan begini ia biasanya kebanjiran job. Jadwal full, meski puasa masih sebulan. Sehari bisa dua-tiga job menanti. Tausyiah bukber puasa dan ceramah tarawih. Belum lagi jadwal mengisi siaran RRI-TVRI, dan safari ramadhan pemda. Sepadat apa pun job, sebagai dai tenar, ia mahir memilih tempat “basah” dan “kering”.
Itu cerita ramadhan tahun kemarin. Tahun ini ceritanya lain lagi. Covid-19 membuat “dokter gila” dan kawan daí saya kehilangan job. Wajar jika Sekretaris FKUB Sulteng yang kebetulan seorang dai, Dr. H. Muhtadin Dg. Mustafa, M.HI bicara lugas soal nasib para dai di depan gubernur saat rapat bersama Forkopimda, MUI dan tokoh ormas Islam jelang Ramadhan.
Para dai, imam dan ta’mir masjid, kata Muhtadin, rata-rata tergolong ODP (Orang Drop Pendapatan). Pendapatannya tersumbat, terdampak corona. Maka lahirlah Instruksi Gubernur poin 8, agar para bupati dan wali kota memperhatikan kesejahteraan para imam dan takmir masjid (inklud daí).
Saya yakin, tak seorang pun dokter dan daí yang membayangkan, apalagi menghendaki kondisi ini terjadi. Itu manusiawi. Rasulullah Saw bahkan memberi sepucuk pesan, “Apa saja yang membuatmu tak nyaman itu adalah musibah/cobaan”. Anda mungkin pernah mencintai seseorang selama bertahun-tahun, lalu terima kabar ia dipinang orang lain. Itu juga musibah. Saya pun pernah mengalaminya. Disebar fitnah menggalang dukungan tanda tangan untuk menolak pelantikan seorang pejabat. Padahal terpikir pun tidak, apalagi melakukannya.
Begitu pula perasaan cemas, khawatir dan takut yang melanda saat ini, adalah pertanda Tuhan sedang menguji suasana kebatinan kita. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S. a-Baqarah 155).
Corona adalah ujian kecemasan, rasa takut akan kehilangan nyawa dan nasib ekonomi untuk bertahan hidup bahkan kehilangan pekerjaan (al-amwal). Kecemasan sewaktu-waktu terpapar dan dijauhi orang lain, bahkan oleh keluarga sekalipun. Wajar bila kita cemas dan khawatir, sebab sisi kemanusiaan kita tak mau sakit, dan butuh kejelasan untuk bertahan hidup.
Namun jika kita memiliki kekuatan batin-rohaniah yang tegar, maka yakinlah akan janji Allah, laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Tuhan tak akan memberi cobaan/beban, rasa cemas dan takut melainkan manusia punya kekuatan dan kemampuan untuk menghadapi dan menjalaninya. Percayalah, dibalik kesusahan, pasti terdapat kemudahan (inna ma’al ‘usri yusro).
Pada waktunya, ujian akan selalu ada dan datang. Tapi waktu tertentu pula ia akan berakhir dan pergi dengan usaha manusia dan kesabarannya. Dibutuhkan kesiapan jasmani-fisik dan rohani-spitual. Rumi pernah berkata, obat dari derita adalah derita itu sendiri. Wallahu álam.

Pos terkait