Le Cendekia Boarding School, Sekolah Inklusi Berasrama Pertama di Gowa, Sulsel

  • Whatsapp
Tyo, Fathir, Amal serta kawan lainnya, mereka siswa Le Cendekia yang mengisi waktu istirahat sore dengan bermain bersama di halaman sekolah. Foto: Le Cendekia/ PE

 
PALU EKSPRES– Tiga remaja laki-laki berkejar-kejaran. Suara teriakan membahana sahut menyahut dengan riuh suara anak-anak lain yang juga bermain berkelompok. Umur mereka hampir sepantaran 12-15 tahun. Bila hanya melihat sepintas, tak akan ada yang tahu bahwa satu di antara 3 bocah remaja itu, adalah anak berkebutuhan khusus. Sebab, baik anak normal dan berkebutuhan khusus hampir tak ada sekat. Mereka bercanda mengolok-olok lebih seperti permainan sesama saudara. Anakku Thariq mengatakan itu Sibling War, Perang saudara.
 
Laporan : Anita Anggriany Amier, Pimred
 

Pakkato Gowa
 
Pemandangan ini yang terlihat di Sekolah Le Cendekia, Pakkato, Kabupaten Gowa,Sulawesi Selatan. Jarak sekolah ini dari Kecamatan Panakukang, Kota Makassar sekira 18,3 km. Melewati kota Gowa yang ramai, atau jalan yang memotong jalur lewat Antang.
Le Cendekia adalah salah satu sekolah yang menerapkan pendidikan Inklusif. Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan di mana siswa yang memiliki kondisi khusus dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. 
 
Sekolah inklusi adalah istilah yang diberikan kepada sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai pelayanan dasar yang wajib diberikan kepada warga negara tanpa kecuali.
“Di tanah air kita, pendidikan inklusif makin dibutuhkan keberadaannya  seiring dengan makin bertambahnya anak-anak yang dikategorikan termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK),” ujar Olle Hamid, salah satu tokoh pendiri Le Cendekia.
 
Menurut Olle, Le Cendekia yang berdiri tahun 2017 pada awalnya belum menerima siswa kategori khusus (ABK).
“Saat ini, Le Cendekia Boarding School Gowa, boleh jadi adalah satu-satunya sekolah berasrama yang secara khusus memberikan layanan bagi ABK.
Olle mengatakan keputusan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus, menjadi sekolah inklusi, diambil setelah melihat jumlah ABK yang membutuhkan sekolah lanjutan juga makin bertambah secara signifikan.
 
“Konsekuensinya, Le Cendekia mesti menyiapkan tenaga guru khusus yang akan menangani pendidikan para siswa istimewa ini,” ujarnya.
Menerima siswa ABK di sekolah yang menerapkan sistem berasrama, tentunya memerlukan kesiapan yang berlipat ganda. Bukan hanya dari kesiapan sarana dan prasarana, namun juga ketersediaan tenaga pengajar yang memenuhi syarat, dalam arti memiliki kualifikasi pengetahuan yang sesuai. Rasa tanggung jawab untuk mengambil bagian dalam upaya memberikan hak belajar yang sama kepada anak-anak istimewa ini, membuat Le Cendekia serius mencari guru yang kualified bagi siswa-siswa ABK yang terus bertambah.
 
Bagaimana model pengajarannya?


Saat calon siswa mendaftarkan diri untuk bergabung di Le Cendekia Boarding School, maka seluruh siswa akan mengikuti test MIR (Multiple Intellegences Research). Test ini bertujuan untuk mengetahui gaya belajar serta potensi unggul yang dimiliki setiap siswa, agar guru bisa menentukan cara mengajar yang tepat. 
Siswa yang terdeteksi membutuhkan stimulasi khusus,  selanjutnya akan mengikuti assessment psikologi oleh tenaga professional untuk menentukan model pembelajaran yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa yang meliputi,  pengajaran langsung, pengajaran bertahap, latihan motorik, permainan edukatif, serta modeling.
Secara umum seluruh model pembelajaran tersebut bertujuan untuk melatih kemandirian anak dan mengembangkan secara maksimal kemampuan siswa dalam hal bahasa, sosial dan emosional, motorik , perkembangan perilaku dan perkembangan akademik. Mereka mendapatkan pelayanan khusus di kelas tersendiri secara terjadwal. Di luar jam pelayanan khusus tersebut, mereka tetap berbaur dengan siswa di kelas regular.
Ibu Nurbaya Ubay, salah seorang dari orangtua siswa spesial Le Cendekia Gowa yang telah bergabung selama setahun, mengungkapkan kegembiraannya. “Saat awal masuk, kami masih cemas apakah anak kami bisa beradaptasi, namun setelah beberapa waktu, ia bahkan bisa menyiapkan keperluan asramanya sendiri. Sekarang komunikasinya sudah dua arah, meskipun kata-katanya masih terbatas. Ananda juga semakin mandiri, bahkan bisa memasak untuk diri sendiri juga untuk kakak dan adiknya.”
Bagi orangtua siswa, memasukkan putra putri mereka ke dalam sekolah berasrama, hal yang jadi prioritas adalah keamanan dan kenyamanan putra putri mereka saat berada di dalam. Sistem yang dibangun di Le Cendekia Boarding School Gowa, berupaya keras memberikan layanan tersebut dan terutama didukung oleh siswa siswi yang memiliki kepedulian yang besar kepada kawan-kawan mereka.
Untuk memberikan layanan maksimal kepada para siswa, baik siswa regular maupun siswa ABK, Le Cendekia menerima siswa ABK dalam jumlah yang terbatas, yakni maksimal 10% dari kapasitas siswa regular, dengan persyaratan tertentu, yakni telah tuntas pemahaman aktivitas primer (toilet, makan dan berpakaian).  Olle dan seluruh staf pengajar berharap sekolah inklusi berasrama ini, turut memberikan solusi bagi para orangtua yang memiliki putra putri berkebutuhan khusus. (*)
 
 

Pos terkait