Oleh Bahrun ML
DISKUSI panjang yang melelahkan para pendiri bangsa seputar paham keagamaan dan kebangsaan 75 tahun yang silam berakhir dengan kesimpulan cerdas dan elegan, yang kemudian menjadi konsensus nasional ; Bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan juga negara sekuler apalagi ateis. Inilah salah satu puncak ijtihad anak bangsa.
Sadar akan perbedaan antar anak bangsa, tujuh kata “sakral” harus ditinggalkan demi kepentingan yang lebih besar. Inilah penjabaran toleransi pada tataran empiris dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bila ada pendapat mengatakan bahwa agama urusan privat, itu artinya membuka kembali ruang untuk menjadikan negara ini menjadai negara sekuler. Atau dengan kata lain negara tidak mengurus urusan agama, karena agama masuk dalam wilayah urusan pribadi masing masing warga negara. Pendapat ini menjadi benar bila yang dimaksud dengan urusan pribadi adalah sistem keyakinan dan tata cara ritual ibadah. Di luar dua hal tersebut, untuk alasan menjaga ketertiban umum yang menjadi salah satu tujuan orginal hadirnya negara, maka urusan keagamaan tertentu, negara tidak boleh abai, atau tidak hadir tanpa alasan alias “bolos”. Apalagi sampai alpa.
Kehadiran negara paling sedikit berperan memfalitasi melalui regulasi tertentu, semisal dalam hal ; melindungi warga negara dari ajaran agama yang menyesatkan, provokatif, mendirikan sarana ibadah, urusan haji, penyelenggaraan pendidikan agama, pernikahan dan hal lain yang memang berada dalam area otoritas agama, tetapi beririsan dengan fungsi negara dalam penegakan keteriban umum.
Bila semua urusan tersebut diserahkan menjadi urusan pribadi, maka eksistensi Kementerian Agama sebagai salah satu instrumen negara patut dipertanyakan.
Pada saat yang sama, bila ada pendapat yang mengatakan bahwa agama, seakan “wajib” mengurus negara. Maka pendapat ini memberi ruang untuk menggiring negara menjadi negara agama. Lalu pertanyaannya bagaimana memposisikan dua kewenangan besar, yang seakan di hari hari terakhir ini menjadi dua kutub yang bersebrangan, antara kewenangan negara di satu sisi dan otoritas agama di sisi yang lain, ketika kedua otoritas itu bertemu dan bermain di ranah publik.