Oleh Muhd Nur Sangadji
Panti Asuhan di Rumah Sendiri. Sudah sangat sering terjadi. Ada banyak mahasiswa dan orang tuanya mengirim kabar sedih. Tentang ketidakmampuan membayar uang kuliah pada semester berjalan. Banyak terpaksa cuti karena tidak menemukan solusi. Banyak lainnya harus berhenti permanen.
Sebagian mahasiswa ini bekerja serabutan untuk biaya kuliah. Ada yang menjadi buruh bangunan. Ada pula sebagai tenaga kerja di bengkel dan tempat cuci mobil. Sebagian lagi mau jadi karyawan di toko atau restoran dan lainnya. Banyak juga dari mereka berbagi kamar tidur. Saya mendapat kabar satu kamar untuk tiga mahasiswa. Miris mendengarnya. Tapi, itu fakta yang tersaji.
Baca juga : Nur Sangadji: Majunya Sulteng Ditentukan Untad
*****
Cerita yang begini tidak baru. Sekolah adalah perjuangan. Dari dulu sudah begitu. Banyak orang sukses sekarang, adalah mahasiswa yang sangat menderita pada saat kuliah. Namun, kalau kita bisa meringankan, mengapa kita tidak bertindak menolong ? Dan, mereka yang paling dekat peluang membantu adalah para guru dan karyawan di perguruan tinggi tempat anak-anak kita belajar.
Ingat cerita dulu-dulu. Kala itu, era tahun 80-an. Hampir semua rumah tangga di kota Ternate memiliki anak tinggal yang berasal dari pulau pulau seputaran Halmahera. Maklum karena hanya di Ternate ada sekolah menengah pertama dan atas. Universitas hanya satu. Pun, berstatus swasta. Sebagian besar tidak bertalian keluarga.
Baca juga : Gubernur Sulteng: Perusda Harus Berani dan Tidak Takut
Di Palu pada era itu, kata isteri ku. Ayah dan Ibunya menampung anak-anak tinggal hampir 40-an orang. Semogalah menjadi amal bagi beliau berdua di alam sana. Mereka anak-anak ini pastilah punya dinamika kesusahan hidupnya masing-masing.
*****
Untuk semua kesulitan anak anak kita ini, mari kita ambil prakarsa. Saya yakin, banyak yang sudah melakukan. Namun belum menjadi gerakan. Katakanlah, tiap dosen atau pegawai ambil 1 sampai dengan 5 mahasiswa dan mahasiswi kurang mampu. Bayangkan kalau ini terjadi. Hitunglah jumlah dosen dan pegawai di setiap perguruan tinggi. Angkanya bisa mencapai 1000 sampai 3000 bahkan lebih. Artinya, bila semua mau bertindak mulia. Kita bisa selamatkan minimal 1000 sampai dengan 3000 mahasiswa untuk sedikitnya 1 mahasiswa tiap keluarga. Atau, bisa maksimal 15.000 ribu mahasiswa untuk 5 mahasiswa tiap keluarga.
Angkanya sangat fantastis. Beasiswanya tidak kentara (un disquise scholarship). Tapi boleh jadi, jumlahnya bisa setara dengan beasiswa yang diberikan secara konvensional oleh negara atau swasta.
Tidak percaya? Mari kita hitung. Satu anak yang tinggal bersama kita. Dia sudah tidak bayar uang kos, air, listrik dan internet. Begitu juga uang makan pagi, siang dan malam. Bila uang domisili dan fasilitasnya sekitar 600.000 per bulan. Kemudian, uang makan rata rata 30.000 per hari atau 900.000 per bulan. Maka total per mahasiswa sekitar 1.500.000 per bulan. Dikalikan 5 mahasiswa, maka angkanya mencapai 7.500.000 rupiah. Ini hitungan normal atau nilai ubinan dalam istilah pertanian.
*****
Angka 7.500.000 tersebut tentu lebih tinggi dari gaji dosen golongan IV A, berjabatan lector kepala atau Associate Profesor. Tapi, pasti konversi ini tidak begitu persis dalam fakta keseharian. Walaupun patokan harga adalah standar. Analogi berfikirnya sama dengan kita kontrak rumah, tapi kita tidak tempati karena sedang ada di luar kota. Namun, uang sudah harus dibayar. Anggaplah tiap bulan kita sumbang ke panti asuhan tanpa terasa. Karena, panti itu ada di rumah kita sendiri.
Selebihnya adalah nilai kebaikan. Mungkin Tuhan telah mencatat pahala kita pada standar 7.500.000, padahal pengeluaran kita tidak mencapai angka tersebut. Apalagi kalau didorong keyakinan bahwa setiap pemberian akan dilipatgandakan oleh Ilahi. Lihatlah: satu benih yang kita tanam, dikembalikan oleh Allah melalui tanah dalam bentuk pohon bercabang cabang. Dan setiap cabang memberikan satuan, puluhan dan ratusan buah yang dapat membentuk lagi, benih baru.
Dan, benih baru kali ini adalah manusia bernama mahasiswa. Satu waktu yang telah ditetapkan. Mereka, para mahasiswa ini akan lahir sebagai sarjana baru yang kelak akan memproduksi kebaikan secara berjenjang. Maka saya mengajak. Mari kita jadikan ini sebagai gerakan untuk menyelamatkan generasi dengan menjaminkan mereka tetap sekolah. Boleh jadi, mereka adalah keluarga dekat kita. Bahkan, yang tidak ada hubungan keluarga dengan kita sama sekali. Dengan begitu, kita telah membangun panti asuhan minimalis di rumah kita sendiri. Tentu, tidak resmi, tapi fungsinya berjalan. Semoga langkah kecil ini memberi berkah. Amin yaa Rabb..🤲👌🏻
(Penulis adalah Assoc Prof Bidang Ekologi Manusia, pengajar mata kuliah pendidikan karakter dan anti korupsi Universitas Tadulako)