Oleh : Muhammad. Qadri
Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang menganut sistem pemerintahan Demokrasi. Definisi dari demokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yang terpilih. UUD 1945 sebagai konstitusi Negara yang telah mengalami empat kali perubahan, secara nyata mengatur dan mengakui demokrasi sebagai mekanisme pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang” Pasal tersebut memuat dua prinsip. Pertama prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi dan yang kedua adalah prinsip Negara Hukum. Selain itu, wujud nyata Indonesia sebagai Negara Demokrasi juga dapat dilihat pada pasal 6A yang mengatur mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, serta Pasal 18 ayat (3) dan (4) yang mengatur mengenai pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Senada dengan hal tersebut pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Bab XVII tentang Partisipasi Masyarakat Pasal 448 ayat (1) yang berbunyi Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Jika dimaknai secara umum bahwa demokrasi merupakan bentuk ikhtiar negara dimana dalam sistem pemerintahannya melibatkan rakyat atau masyarakat di dalam mengatur dan menjalankan pemerintahannya, pelibatannya tersebut dapat dengan cara yang langsung maupun tidak langsung.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana penting dalam suatu negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu Selain memiliki fungsi sebagai sarana untuk mendapatkan para wakil rakyat yang akan mewakili suara rakyat di parlemen maupun pemerintahan, Pemilu juga merupakan suatu lembaga atau wadah yang memiliki fungsi sebagai sarana untuk menyuarakan aspirasi dari rakyat.
Dalam praktiknya, yang secara teknis menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebutlah yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat yang mana mekanismenya melalui pemilihan umum (general election).
Jika Pemilihan umum merupakan sarana atau gerbang dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis, maka harus dipahami bahwa Pemilu atau pemilihan umum diselenggarakan adalah dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara dan untuk mengakomodir kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan penguasa, bukan untuk peserta pemilu dan bukan juga untuk penyelenggara pemilu, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Sehingga dapat memberikan kesadaran bahwa rakyat harus menjadi subjek dari proses pemilu sebab rakyat memiliki posisi yang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu yang disebut dengan pemilu yang demokratis dan berkualitas.
Ada beberapa aspek yang menjadikan Pemilu dikatakan sebagai Pemilu yang berkualitas dan berintegritas, selain daripada aspek peserta pemilu (calon legislatif) dan penyelenggara Pemilu yaitu KPU dan Bawaslu yang tugasnya menyelenggarakan dan mengawasi jalannya setiap proses tahapan Pemilu, yaitu ada juga keikutsertaan warga masyarakat dalam pemilihan umum (general elections) yang menjadi pilihan satu-satunya bagi elit politik untuk bisa mendapatkan suara sebanyak mungkin agar dapat duduk di kursi parlemen sebagai wakil rakyat.
Partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi. Demokratis tidaknya suatu sistem politik, ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya. Standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali pemerintahan tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun, adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan, terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk berkumpul, berserikat dan mengekspresikan pilihan politiknya secara bebas tanpa adanya intervensi, serta mengekspresikan pendapat dalam forum-forum publik maupun media massa.
Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, maka seluruh aspek penyelenggaraan pemilihan umum harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Tidak adanya jaminan terhadap hak warga negara dalam memilih pemimpin negaranya merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi. Terlebih lagi, UUD 1945 Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Masyarakat merupakan unsur terpenting, karena kedudukannya sebagai penentu demokrasi bangsa, sudah seharusnya diberikan ruang seluas-luasnya untuk mengartikulasikan makna demokrasi dalam Pemilu, sebagai wadah ruang perwujudan legitimasi atas kewenangan atribusi kepada calon yang akan dipilih. Sehingga anggapan bahwa Pemilu yang hanya dipenuhi perseteruan politik tanpa konsepsi yang membuang energi dapat dihindari.
Begitu penting dan strategisnya masyarakat dalam mempengaruhi hasil dari pemilu sehingga tidak sedikit elit politik atau para kandidat wakil rakyat yang mengambil peluang ini dalam “memanfaatkan” masyarakat sebagai objek dalam setiap kontestasi politik. Masyarakat yang masih belum memahami betapa penting dan berharganya setiap hak pilih yang mereka berikan, menjadi peluang besar bagi elit politik dalam memanfaatkan kondisi tersebut.
Masyarakat yang masih awam terhadap dunia politik akan menjadi sasaran empuk bagi elit politik dalam mendulang suara melalui cara-cara yang tidak konstitusional, diantaranya adalah dengan melakukan praktir-praktik politik uang dan kecurangan lainnya yang melanggar ketentuan peraturan undang-undang maupun norma lainnya. Masyarakat hingga saat ini masih melihat proses pemilu sebagai sebuah ajang pencapai kekuasaan dan tidak memberi manfaat untuk perbaikan kedepan disebabkan para calon anggota legislatif (caleg) sering mengubar janji yang tidak dipenuhi, akibatnya pada pelaksanaan pemilu masyarakat kurang peduli karena menganggap proses pemilu hanya buang-buang waktu dan tidak mempunyai manfaat.
Pemilih juga dikelompokkan menjadi empat segmen berdasarkan perilaku. Keempat segmen ini dikembangkan oleh Newman sebagai bagian dari political marketing yang bertujuan memenangkan Bill Clinton menjadi Presiden Amerika Serikat yang kedua kalinya tahun 1996. (Adman Nursal, 2004:126)
- Segmen pemilih rasional, kelompok pemilih ini memfokuskan perhatian pada faktor isu dan kebijakan kontestan dan menentukan pilihan politiknya.
- Segmen pemilih emosional, kelompok yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan tertentu seperti kesedihan, kekhawatiran, dan kegembiraan terhadap harapan tertentu dalam menentukan pilihan politiknya. Fakor emosional ini sangat ditentukan oleh faktor personalitas kandidat.
- Segmen pemilih sosial, kelompok yang mengaosiasikan kontestan pemilu dengan kelompok-kelompok sosial tertentu dalam menentukan pilihan politiknya.
- Segmen pemilih situasional, kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional tertentu dan menentukan pilihannya. Segmen ini digerakkan oleh perubahan dan akan menggeser pilihan politik jika terjadinya kondisi-kondisi tertentu.
Sedangkan menurut Eep Saifullah Fatah dalam buku political explorer, secara umum pemilih dikategorikan kedalam empat kelompok utama, yaitu:
- Pemilih Rasional Kalkulatif, pemilih tipe ini adalah pemilih yang memutuskan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan rasional dan logika. Biasanya pemilih ini berasal dari golongan masyarakat yang terdidik atau relatif tercerahkan dengan informasi yang cukup sebelum menjatuhkan pilihannya.
- Pemilih Primordial, pemilih yang menjatuhkan pilihannya lebih dikarenakan alasan primordialisme seperti alasan agama, suku, ataupun keturunan. Pemilih yang termasuk kedalam tipe ini biasanya sangat mengagungkan simbol-simbol yang mereka anggap luhur. Pemilih tipe ini lebih banyak berdomisili di wilayah perkampungan.
- Pemilih pragmatis, pemilih tipe ini biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan untung dan rugi. Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat secara pribadi kepada mereka.
Diantara tipe pemilih terdapat pula masyarakat apatis yang lahir dari kekecewaan akan janji elit politik yang berpandangan bahwa siapa pun yang nantinya akan terpilih menjadi wakilnya di parlemen atau pemerintahan tidak akan membawa pengaruh apapun terhadap hidupnya. Selain itu, kelompok ini juga berpandangan bahwa calon anggota legislatif (caleg) hanya itu-itu saja karna penyebabnya dipegaruhi dari beberara faktor yang ditinjau dari berbagai sudut pandang. Masyarakat Apatis melihat bahwa sahnya kalau calon itu terpilih, akan sama saja keadaan di masyarakat atau lingkungannya dengan sebelumnya.
Pemahaman yang cenderung apatis juga pragmatis demikian yang jika terus dibiarkan menjamur dan menjadi budaya di masyarakat maka tidak menutup kemungkinan kualitas Pemilu yang bersih, berintegritas, jauh dari kecurangan seperti yang kita harapkan hanya akan menjadi angan-angan dan sebatas konsep yang masih tersimpan rapi di pikiran saja.
Mengkaji kualitas pemilu tentu harapannya adalah yang sesuai dengan asas Pemilu (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil), jika merujuk konsep Lawerence L Friedman dimana aturan dan asas hukum akan terlaksana dengan 3 hal dimana salah satunya tidak boleh ditepiskan antara lain adalah Substansi, Struktur dan Legal Culture maka kualitas pemilihnya memiliki peluang besar untuk turut serta berpartisipasi dalam membantu tugas-tugas dari penyelenggara Pemilu terutama dalam hal berperan aktif mengawasi jalannya setiap proses tahapan Pemilu secara partisipatif.
Kolaboratif masyarakat dengan penyelenggara Pemilu utamanya Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan salah satu jalan ikhtiar bersama untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas. Pemilih yang aktif, partisipatif dan paham akan betapa penting dan berharga suaranya tidak akan dengan mudah terpengaruh oleh pelaku politik praktis yang mencoba “membeli” suaranya, sebab pemilih yang baik dapat membedakan antara mana yang menjadi sedekah/bantuan dan mana yang merupakan money politick (politik uang) atau jenis kejahatan pemilu lainnya.
Dengan demikian, Pemilu yang berkualitas akan dapat terwujud jika pemilihnya memiliki kualitas yang baik dalam melihat, mencari tahu dan menemukan calon pemimpinnya, setidaknya pemilih yang baik dapat membedakan mana calon yang berintegritas, jujur dan amanah dan mana calon yang hanya “memanfaatkan” pemilih dengan cara-cara yang tidak baik. ***