Oleh: Jafar G Bua*
Ada kisah di Yunani Kuno, tentang seorang pria bernama Prometheus. Ia mencuri api dari para dewa. Prometheus adalah pelindung umat manusia. Dia juga merupakan yang paling cerdas dan cerdik di antara para dewa. Dia mencuri api dari Olimpus, menyembunyikannya dalam tangkai adas, dan memberikannya kepada manusia. Dia mengelabui Zeus untuk memperoleh bagian terburuk dalam persembahan kurban bagi para dewa, sementara manusia berhak menjaga bagian terbaiknya untuk mereka sendiri.
Tapi hukum Zeus tak bisa dikibuli. Prometheus dihukum oleh Zeus, yang memerintahkan supaya dia dirantai di puncak Kaukasus. Prometheus dirantai di atas batu, seekor elang mengoyak hati dan hatinya terus tumbuh kembali setiap hari. Hukuman abadi.
Di negeri yang berulang kali melawan korupsi ini, kita punya kisah yang sama — tapi tanpa Prometheus yang heroik, kita punya Prabowo Subianto. Presiden ke-8 Indonesia itulah yang kini berhadapan dengan serangkaian modus yang berulang, keserakahan yang terus tumbuh, dan hukuman yang sering kali tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Kita Beruntung punya Prabowo, dengan langkah yang lebih tegas, menjadikan perang melawan korupsi sebagai prioritas nasional. Tidak sekadar retorika, tetapi tindakan nyata.
Dan baru saja, layar berita kita menampilkan skandal Pertamina yang tak hanya soal uang, tapi juga tentang muslihat yang licin. Mereka tak mencuri api, mereka mencampurkan bahan bakar. Mereka bukan pula Prometheus, sebab ia mencuri api para dewa, yang kadang rakus dan otoriter, untuk rakyatnya. Adapun mereka, mencuri untuk kepentingannya sendiri.
Ron 90, yang seharusnya menjadi bahan bakar kelas rendah, dioplos hingga menjadi Pertamax (Ron 92). Bukan sekadar permainan angka, tapi permainan harga yang membuat rakyat membayar lebih untuk sesuatu yang lebih buruk. Dan ini hanyalah sepotong dari skema yang lebih besar: minyak mentah dalam negeri sengaja ditolak, sementara impor dengan harga lebih mahal difasilitasi oleh tangan-tangan yang paham betul cara bermain dalam bayang-bayang regulasi.
Para pelaku skema ini bukan orang sembarangan. Tujuh tersangka telah ditetapkan, empat di antaranya adalah direktur sub-holding Pertamina, tiga lainnya adalah broker swasta. Modusnya rapi: produksi kilang diturunkan dengan alasan tidak ekonomis, minyak dalam negeri dibiarkan tersia-sia, dan jalan bagi impor pun terbuka lebar. Yang dijual bukan hanya bensin, tapi juga kedaulatan energi.