Begitu juga dengan New York Times yang memprediksi 46 persen Hillary bisa memenangi pemilu AS. Sedangkan peluang Trump untuk menang hanya 42,9 persen. Survei Real Clear Politics juga memenangkan Hillary dengan selisih tipis 2,2 persen poin. Tapi, itu semua berubah ketika pemilu yang sebenarnya berjalan. Lantas, bagaimana dengan di Pilkada DKI Jakarta?
Ada kemungkinan fenomena Brexit dan Donald Trump merembet di pemilihan menuju kursi DKI 1. Pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat saat ini selalu kalah dalam hasil lembaga survei. Catatan Jawa Pos, dari delapan lembaga survey, hanya Charta Politika yang mengunggulkan Ahok-Djarot.
Pengamat Politik Emrus Sihombing mengatakan, fenomena politik sangat cair. Tak terkecuali di Jakarta. Semua bisa saja terjadi “Politik dalam hitungan detik terus berputar sesuai dengan dinamika, perkembangan,” ujarnya saat dihubungi JawaPos.com, Senin (17/4).
Hasil yang dikeluarkan lembaga survei menurutnya hanyalah sesaat. Hasil tersebut merupakan terjadi ketika pemilihan dilakukan pada saat itu. “Tapi tidak merupakan kepastian bahwa tanggal 19 yang menang di survei pasti menang di pilkada,” sebutnya.
Peristiwa ini pun kata Emrus pernah terjadi ketika pertarungan di Pilkada DKi sebelumnya. Yakni antara Fauzi Bowo-Nachrowi Ramil dengan Joko Widodo-Djarot Saiful Hidayat.
“Hasil survei yang disajikan hanya sebagai potret sesaat. Tidaklah suatu jaminan,” tegasnya lagi.
Katanya sikap masyarakat atau pemilih sewaktu-waktu bisa berubah. Perubahan itu dipengaruhi sejumlah faktor. Misalnya, ada komunikasi antar pribadi di keluarga, lobi-lobi politik, dan ada mobilisasi politik.
“Tidak ada jaminan panggung depan politik seperti itu. Bisa saja berubah karena di drive panggung belakang politik,” tuturnya.
Namun yang paling mempengaruhi menurutnya adalah program yang ditawarkan pasangan calon dan figur dari para calon itu sendiri.
Terkait program, pemilih pastinya akan memilih program yang yang menawarkan kesejahteraan masyarakat lebih terukur, realistis, daripada sekedar retorika belaka. “Penduduk Jakarta rasional, penduduk Jakarta berpendidikan,” imbuhnya.
Sementara terkait sosok, masyarakat saat ini menurutnya lebig membutuhkan sosok yang lebih modern. Dalam hal ini figur yang berani bertindak dengan wujud yang nyata.
“Sosok semacam ini kelihatannya menjadi tren yang diinginkan masyarakat. Tidak lagi tokoh atau sosok yang sifatnya cool, dingin,” terangnya.
Kendati demikian dia mengatakan, bahwa dua pasangan calon saat ini memiliki peluang yang sama. “Peluang mereka menangkan pilkada masih terbuka,” pungkas Emrus.
(dna/JPG)