Realitas Palsu

  • Whatsapp
Tasrief Siara

Oleh Tasrif Siara, praktisi komunikasi massa

KEHIDUPAN itu terkadang kejam. Ketika kuasa ada ditangan anda maka orang pada mendekat bagai laron. Namun ketika kuasa menghilang ditangan anda, orang-orang lari dan menjauh. Pertanda apa ini?

Bacaan Lainnya

Belum lama ini saya nonton sebuah acara menarik di televisi, judulnya Brain Game. Acara itu menguji respon seseorang terhadap satu obyek yang sama, namun ketika obyek itu berganti rupa dalam adegan berbeda, respon orang disekitarnya ikut berubah.

Acara Brain Game itu menayangkan dua adegan yang berbeda. Pertama memperlihatkan seorang lelaki necis dengan dandan yang sangat rapi, memakai jas dan dasi berjalan disebuah taman kota, tiba-tiba pingsan dikeramaian. Seketika itu orang disekitarnya memberi respon yang sangat cepat untuk membantu.

Adegan kedua, masih dengan lelaki yang sama, namun telah berganti kostum, ia memakai pakaian agak kumal berjalan ditempat yang sama dan tiba-tiba beradegan pingsan ditempat yang sama pula saat dandan necis. Sampai hitungan ke menit lima belas, tak satupun orang merespon untuk membantu, bahkan dibiarkan tergeletak begitu saja tanpa ada yang hirau. Pertanyaannya, mengapa respon orang menjadi berbeda, padahal pelaku utamanya orang yang sama ?

Ini mungkin disebut dengan anomaly social dalam memandang kehidupan. Bahkan anomaly itu cenderung menjadi penyakit sosial yang masih menggelantung dalam cosmologi berpikir dan bersikap kita. Respon otak kita terkadang masih sangat sulit mengintegrasikan antara dandanan necis dan tampilan kumal, apalagi dekil. Dari gaya berpikir seperti itu hingga respon otak kita masih sangat suka mengkotak-kotakkan realitas yang ada didepan mata kita. Padahal teks agama tak mengajarkan seperti itu.

Acara Brain Game itu sesungguhnya adalah realitas keseharian kita. Hari ini kita hidup dalam sistem sosial yang masih suka mendikotomikan tampilan seseorang dari kulit luar. Seumpama sebuah buku, kita hanya suka menilai buku dari covernya bukan isinya.

Dari pandangan seperti itu hingga kita selalu memberi respon yang berbeda ketika melilihat sosok yang necis dan memandang remeh sosok yang kumal. Singkat kata, kita masih memandang realitas individu pada kelas-kelas social seseorang.

Pos terkait