Pemerintah daerah, kata Sutopo, juga kurang memperhatikan pengaturan tata ruang yang kompatibel dengan penanggulangan bencana. Masyarakat juga banyak yang masih tinggal di kawasan rawan bencana. “Entah itu karena tidak mampu atau tidak mau pindah ke tempat yang lebih aman,” tuturnya.
Ada juga beberapa faktor lain. Antara lain laju deforestasi yang semakin cepat dari tahun ke tahun, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang semakin kritis, serta perubahan iklim global. Pada 2018 nanti, lanjut Sutopo, Indonesia diprediksi masih akan dihantam bencana tidak kurang dari 2.000 kali. Kelompok banjir, tanah longsor, dan puting beliung diperkirakan akan menyerang sepanjang Januari hingga April.
Setelah itu, mulai Juni hingga Oktober, ganti kekeringan dan Karhutla yang mengintai. Barulah memasuki akhir tahun, tepatnya November hingga Desember, banjir dan kawan-kawannya akan kembali menyerang.
“Sementara untuk gempa dan tsunami potensi kerawanannya terjadi sepanjang tahun,” jelas Sutopo. Agar bisa melakukan aksi tanggap dan penanggulangan, ia menyatakan, BNPB butuh setidaknya Rp15 triliun. Dana ini juga digunakan untuk bantuan, pemulihan kembali fisik dan kegiatan ekonomi masyarakat pascabencana.
Sedangkan anggaran penanggulangan bencana yang dialokasikan APBN untuk BNPB pertahun cuma Rp1,2 triliun. “Itupun tahun ini berkurang sampai Rp700 miliar,” bebernya. Sebenarnya ada dana cadangan di Bendahara Umum Negara sebesar Rp4 triliun. Namun, pencairannya harus melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Untunglah, masih ada bantuan dari organisasi nonpemerintah yang tanggap bencana.
Kas daerah pun tidak bisa diharapkan. Berdasarkan catatan Sutopo, perdaerah di Indonesia hanya mengalokasikan kira-kira 0,5 persen APBD untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). “Apalagi sebentar lagi ada Pilkada, pasti akan semakin berkurang,” tutup dia.
(sairi/rk)