PALU EKSPRES, PALU – Sebagai salahsatu penyelenggara Pemilu, Bawaslu memiliki banyak pengalaman dalam mengawasi proses Pemilu. Bawaslu kerap mendapati penyelenggaraan berjalan tidak sehat akibat praktek politik uang dan politisasi sara yang dilakukan para peserta Pemilu.
Dalam pelaksanaannya, Pemilu masih disuguhi kecurangan. Pemilu sebagai pesta demokrasi pun belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi sesungguhnya. Politik uang adalah kecurangan Pemilu yang dilakukan kandidat maupun partai politik.
Kecurangan ini dinilai memaksa masyarakat memilih peserta yang melakukan politik uang. Dua subjek penyebab politik uang adalah peserta dan masyarakat. Ini dilakukan kandidat karena takut bersaing secara sehat.
Peserta, baik itu calon bupati maupun calon legislatif (Caleg), utamanya yang baru bersaing sangat berpotensi melakukan politik uang. Bahkan diyakini terus mencari bentuk lain serangan fajar. Bagi para calon incumbent maupun caleg yang pernah mencalonkan, dinilai pula tentu lebih ahli dalam melakukan politik uang.
Dan dipastikan akan melakukan hal yang sama ketika kembali maju dak pencalonan. Demikian hemat Kepala Sekretariat Bawaslu Sulteng, Anayanti Sofianita mengutarakan pengalaman Bawaslu Sulteng dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Rabu 14 Februari 2018 dalam laporan penyelenggaraan Deklarasi tolak politik uang dan politisasi sara pada Pilkada 2018 dan pemilihan legislatif 2019.
Ketidak percayaan masyarakat terhadap calon juga menjadi alasan terjadinya politik uang. Kondisi ini sebut Anayanti memberi efek negatif bagi para elit dengan cara menghamburkan uang dalam waktu sekejap. Sebiknya masyarakat pun tergiur kemudian memilih lantaran merasa punya hutang budi.
“Biasanya peserta tidak memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat. Lantas membuat program-program yang didalamnya terindikasi politik uang,”sebutnya. Sebab lain politik uang juga dipengaruhi rendahnya pengetahuan masyarakat akan politik. Termasuk tingginya angka kemiskinan.