PALU EKSPRES, PALU – Indeks demokrasi Indonesia (IDI) merupakan sebuah pola untuk mengetahui baik buruknya sistem demokrasi di suatu wilayah. IDI diperoleh dari metode, kebebasan sipil, hak-hak politik dan institusi demokratis.
Penyusunan IDI tersebut pada akhirnya akan bermuara untuk membantu pemerintah daerah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam menyusun perencanaan pembangunan, secara khusus pembangunan di bidang politik. Demikian Asisten Gubernur Sulteng bidang pembangunan dan kesejahteraan rakyat, Ardiansyah Lamasitudju dalam sosialisasi indeks demokrasi yang digelar bersama Badan Kesbangpol Sulteng, BPS dan Untad Palu, Rabu 14 Maret 2018.
“Pemerintah mengapresiasi kegiatan ini. Supaya kita memahami suatu sistem demokrasi. Ini juga menjadi alat ukur berjalan tidaknya sistem tersebut dalam suatu pemerintahan,”kata Ardiansyah.
Pendidikan politik menurutnya adalah tanggung jawab bersama. Baik itu pemerintah, partai politik, akademisi serta seluruh masyarakat. Itu bertujuan agar Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 mendatang dapat berjalan tertib, aman dan lancar. Sekaligus melahirkan pemimpin yang berkualitas dan menciptakan pemerintahan yang demokratis.
“Salah satu upaya adalah pendidikan politik yang harus ditingkatkan. Agar pemilu tertib yang akhirnya menghasilkan pemimpin yang baik. Menciptakan pemerintahan yang membawa kemajuan bagi daerah,”tandasnya. Pengamat Politik Untad Palu, Darwis dalam kesempatan itu menjelaskan pendidikan politik menurut Kosasih Djahiri (1995:18). Versi Kosasi kata dia, pendidikan politik adalah pendidikan atau bimbingan, pembinaan warga suatu negara untuk memahami, mencintai dan memiliki rasa keterikatan diri yang tinggi terhadap bangsa, negara dan seluruh perangkat kelembagaan yang ada.
Pada akhirnya pendidikan politik alan membentuk kedewasaan setiap warga negara dalam menunaikan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.Serta menjadikan warga negara patuh dan tunduk pada konstitusi.
Dan memahami etika politik dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Kesemuanya kata Darwis, dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kualitas berdemokrasi serta yang terpenting adalah menjunjung tinggi kebhinnekaan.
Ia menyampaikan bahwa pendidikan politik harus segera digaungkan secara bersama-sama. Pasalnya selama ini telah terjadi politik pragmatisme, yang menurutnya disebabkan oleh lemahnya pendidikan politik kita saat ini. Dimana diketahui politik transaksional menyebabkan kerusakan di berbagai dimensi, akibat dari praktek politik uang, konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan dan konflik komunal.
Darwis yang merupakan dosen politik Universitas Tadulako sekaligus peneliti, mengkritisi cara perekrutan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR, DPRD) dalam penilaiannya minim proses seleksi yang mumpuni, di lain hal katanya birokrat yang akan menduduki jabatan tertentu harus dan wajib mengikuti proses seleksi yang sangat ketat. Ia menginginkan adanya seleksi yang jelas sebelum seorang anggota legislatif diajukan untuk dipilih oleh rakyat.
Pasalnya anggota dewan merupakan partner pemerintah dalam menyusun anggaran dan pengawasan, olehnya diperlukan seseorang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.
“Kapolri, Menteri atau pejabat sebelum menduduki tempat tertentu harus melewati fit and proper yang sangat ketat, begitu juga dengan pejabat di daerah eselon empat dan tiga juga begitu, seharusnya anggota dewan juga diseleksi bagus oleh perwakilan elemen masyarakat guna menghasilkan seorang legislator yang berkualitas,”pungkasnya.
(humas)