Oleh : Muh Nur Sangadji
Email; mudrezas@yahoo.com/0811454282
Kompetisi sepak bola berkelas dunia 2018 di Rusia baru saja usai. Penontonnya adalah seluruh masyarakat dunia. Dua team , Perancis dan Kroasia, menjadi pusat sorotan. Dua negara ini dibincang oleh seantero penduduk bumi. Mereka dielukan karena berhasil sampai dipuncak kompetisi mondial itu. Pada saat itu, saya menguping banyak orang Indonesia bekata-kata. Mereka bertanya, kapan , negara kita ada dalam daftar kompetisi bergengsi itu. ?
Dalam waktu yang tidak berselang jauh, kita dihibur oleh sprinter muda Indonesia Lalu Muhammad Zohri. Dia baru saja menjadi Juara Dunia Junior di nomor bergengsi 100 meter putra. Meskipun tidaklah bebanding seimbang dengan jumlah penonton sepak bola, tapi kelasnya setara. Yaitu, berlevel dunia. Prestasi luar biasa Zohri diharapkan menjadi pemantik semangat orang Indonesia untuk berkeyakinan bahwa mereka bisa.
Prestasi Zohri ini pun tak bisa dibilang biasa saja. Dia berhasil mencatatkan kecepatan 10,18 detik, atau hanya terpaut 0,01 detik dari rekor nasional yang dipegang Suryo Agung sejak 2009 silam. Apalagi capaian ini diraih di saat umurnya baru menginjak 18 tahun. Suryo Agung menciptakan rekornas saat berusia 26 tahun. Keduanya adalah anak Indonesia.
Mental pesimis kita selama ini , selalu memproduksi alasan ketidak mungkinan dalam mencapai pestasi ini. Mangapa..? Karena, panjang langkah kita pastilah lebih pendek dari orang dari benua Eropa, Ameika, Ausrtralia dan Afrika. Bila diandaikan, sekali melangkah, kaki mereka bisa mencapai jarak satu meter. Sementara, langkah kita hanya setengah meter. Maka, untuk mencapai keseimbangan, kita harus melangkah dua kali dalam satuan waktu yang sama. Sedangkan untuk memenangkannya, kita perlu melangkah lebih dari dua kali dalam satuan waktu tersebut. Itulah satuan waktu dalam hitungan detik. Dan, kita bisa. Buktinya, Zohri juara.
Atas prestasi ini, kita perlu mengambil pelajaran bahwa appologi pada takdir postur, jumlah, fasilitas dan sejenisnya tidak lagi relevan. Semua itu adalah hambatan, tapi bukan kutukan. Sudah lama kita beralasan bahwa tubuh kita terlalu kecil. Karena itu, tidaklah mungkin bisa bersaing dalam kompetisi mondial dalam berbagai cabang olahraga. Tapi, ketika Maradona yang bertubuh gempal dan pendek. Kemudian, Messi yang juga pendek, namun begitu gemilang, rasanya kita kehabisan alasan.
Sesungguhnya, kita punya Rudi Hartono, Elyas Pikal, Cris John dan lainnya yang pernah ukir prestasi dunia. Jauh sebelumnya, kita juga bisa belajar dari pengalaman sejarah bangsa sendiri. bagaiman bamboo runcing melawan senjata lengkap kaum penjajah. Ini adalah contoh yang paling ekstrim kerena menyangkut hidup dan mati. Artinya, membari jiwa. Jadi, kalau taruhannya adalah nyawa saja, kita bisa. Bagaimana dengan prestasi dan penghargaan. Mestinya, kita lebih bisa lagi. Semoga.