PALU EKSPRES – Hingga hari kedua pascagempa, warga masih bertahan di tenda pengungsian. Mereka masih mengalami trauma atas gempa berkekuatan 6,4 SR yang terjadi Ahad (29/7/2018) itu.
SDN Sajang yang berlokasi di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, menjadi salah satu tempat pengungsian. Di sana terdapat 200 warga setempat yang masih bertahan untuk menghilangkan rasa takut dan traumanya.
Sejak gempa itu mereka rela memilih tidur tanpa dinding dan dibekali penerangan seadanya. Tidak masalah beratapkan terpal dan pembatas dengan sekat seadanya.
Nazian, 27, salah satu pengungsi mengaku tidak berani mengambil risiko untuk kembali ke rumah. Selain karena masih adanya gempa susulan, rumahnya kini hanya tinggal separuh sehingga tidak bisa ditempati.
“Separuh rumah kami hancur, separuhnya lagi masih berdiri. Tidak mungkin kami tinggal di sana. Takut kena reruntuhan, tidak aman,” tutur Nazian yang menunjukkan wajahnya yang masih trauma.
Senin malam (30/7/2018), Nazian yang berada di tengah pengungsian membungkus tubuhnya dengan selimut. Di beberapa bagian tubuhnya terlihat luka goresan benda tumpul.
“Ini luka bekas terkena runtuhan beton. Saya sama anak saya sempat terkubur runtuhan tembok. Tapi alhamdulillah istri saya langsung menyelamatkan kami. Kalau sedikit saja telat, tidak tahu lah nasib kami,” kenang Nazian.
Malam itu dia saja baru selesai mendapatkan pengobatan di posko medis Aksi Cepat Tanggap (ACT). Terdapat beberapa luka lebam. Di tangan, kaki, dan perut. Semua itu terasas nyeri. Dia mengaku akan tetap bertahan di tenda pengungsian. Belum tahu akan pulang.
“Pokoknya sampai gempa benar-benar berhenti. Mungkin akan lama di sini, tapi mau gimana lagi. Yang penting keluarga aman. Toh rumah kami juga tidak bisa ditinggali. Belum tahu juga kapan akan renovasi,” ungkap Nazian meringis sembari menahan sakit di tubuhnya.
Di tengah pengungsian, Nazian dan keluarga tidur bercampur bersama warga lainnya. Lansia, orang dewasa, hingga anak-anak tidur bersesakan. Di tempat yang sempat dan warga harus saling berbagi tempat untuk istrirahat.
Tiar, pengungsi lainnya memilih berjalan keluar tenda. Gestur tubuhnya terkesan gelisah. Dari luar tenda, dia hanya memandangi anak-anaknya yang tengah makan malam di pengungsian. “Belum bisa tidur,” ungkapnya.