Oleh : Muhd Nur Sangadji
(Guru Kecil di Untad)
Email; mudrezas@yahoo.com/0811454282
INI kata yang saya ciptakan sendiri. Tadinya, saya mau menulis publikasi. Tapi, publikasi telah punya makna yang terlalu monopolistik untuk literasi. Karena itu, saya pakai kata publifikasi saja. Ingin disandingkan secara oposit dengan kata privatisasi. Karena itu, saya kasih judul Publifikasi Aset Pribadi. Dengan begitu, saya hendak mendefenisikan sendiri maknanya pada upaya pengalihan kepemilikan atau aset dari individu atau pribadi (privat) ke umum (publik).
Inilah kegiatan yang saya lakukan dalam minggu ini di rumah saya. Sejumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Kajian Lingkungan Hidup, saya ajak melakukan aksi publifikasi ini. Ada sejumlah tanaman seperti bibit mangga yang sudah mulai besar. Banyak pula pohon kelor yang selama ini tumbuh di halaman, dipindahkan ke luar halaman. Di pinggiran jalan (open acces). Selama ini pun, para tetangga sering minta izin lebih dahulu saat ingin memetik daun kelor untuk sayuran. Kedepani, mereka tidak perlu minta izin lagi, karena pohon kelor itu telah ada di luar halaman dan menjadi milik umum.
Garrett Hardin, seorang ekologis pernah menulis sebuah essay berjudul “tragedy of the common”. Di dalamnya, beliau mengungkapkan tentang bahaya akses terbuka untuk SDA (baca ; publifikasi). Alasannya sangat sederhana. Garrett menulis, “if every body property, no body property” (Jika semua orang telah merasa memiliki, maka sesungguhnya tidak ada yang memiliki). Bila tidak yang memiliki maka siapa saja dengan sekehendaknya bebas mengambil, menguasai dan atau memanfaatkan asset.
Garett mengkuatirkan terjadinya kerusakan sumberdaya akibat kepemilikan yang tidak jelas. Cara berfikir ini yang melahirkan praktek privatisasi di mana-mana. Namun, pandangan ini ditolak oleh Elinor Ostrom dari Indiana University. Elinor dikenal sebagai penentang kebijakan konvensional tentang pengguna-pengelolaan properti. Karena kegigihannya, dinobatkan sebagai Wanita petama yang peroleh penghargaan nobel di bidang ekonomi.
Ostrom, bepandangan bahwa sepanjang aturan mainnya jelas maka tidak mengapa asset SDA dikuasai publik. Tentu saja, aturan tinggal aturan, bila tidak lahir kesadaran publik, tetap akan sulit. Karena itu, etika, moral dan kepatuhan publik menjadi kata kunci. Inilah sesungguhnya hal penting yang dibutuhkan saat sekarang, yaitu kejelasan atauran main, teladan penyelenggara dan kepatuhan publik.
Dalan studinya, Elinor Ostrom mengkaji penggunaan SDA air dan kondisi perikanan. Ekonom selalu memikirkan bahwa prinsip pasar tidak berfungsi di sini. Dimisalkan, penangkapan ikan secara berlebihan di laut. Ostrom menunjukkan bagaimana sumber daya alam bersama, dapat digunakan sebaik-baiknya dengan aturan lokal (informal). “Dia juga beri contoh bagaimana bendungan irigasi yang dioperasikan masyarakat setempat. Negara kemudian memodernisasi dengan dana bantuan, lalu mengambil alih tanggung jawab (privatisasi asset) dari masyakat (publik). Akibatnya, jaringan lokal bersama yang tadinya berfungsi menjadi ambruk. Wallahu A’alam Bishawab. ***