“KEBINGUNGAN  KOLEKTIF”

  • Whatsapp
foto GORESAN PAGI KAK NUR

Oleh : Muhd Nur Sangadji*

 

Bacaan Lainnya

Inilah   bulan   yang   sangat  menggelisahkan  saya selaku dosen.    Anak-anak Indonesia, para lulusan  sekolah   menengah   tingkat   atas  bergegas masuk perguruan  tinggi. Mestinya mereka langsung saja mendaftar dan ikut   kuliah.  Bukankah mereka telah lulus ujian di sekolahnya masing masing ?.   Faktanya, mereka masih harus menempuh sejumlah “testing”  untuk merebut bangku kuliah yang  ketersediaanya terbatas.

Berlakulah   hukum   ekonomi   dimana  persaingan  muncul   karena   sumberdaya   yang tersedia  amat   terbatas.   Sebagai  contoh,   total   kursi yang  dialokasikan  di Universitas Tadulako sebanyak lebih  kurang  9 ribuan  sedangkan jumlah mahasiswa yang mendaftar lebih kurang  20 ribuan.    Itu artinya,  satu kursi diperebutkan oleh 2  Murid.    Sesuatu  yang logis dalam persaingan.  Namun, “out put” berkualitas  hanya   muncul dari   sebuah   persaingan   yang  “ input”   dan  prosesnya   berjalan secara   elegan, setara dan  fair (adil).  Dan, disinilah masalahnya.

Masuknya mahasiswa baru adalah taruhan yang paling rumit.  Anak-anak kita yang sedang punya hasrat besar  untuk  sekolah,   dihadapkan   pada  fakta keterbatasan bangku kuliah.   Karenanya, mereka harus  mengikuti  kembali   ujian saringan  dengan  biaya ekstra yang tidak kecil.  Mareka, dengan demikian harus mengorbankan lagi, bukan   cuma   dana,  tapi juga   waktu untuk kompetisi ini.  Padahal, mereka telah melakukannya untuk kelulusan dari SLTA.

Beberapa   tahun   silam,  saya  bertemu  dengan   orang Indonesia asal tanah Bugis, yang menjadi penduduk tetap (permanen  residen)  di Melbourne-Australia.  Beliau  memiliki tiga anak yang seluruhnya masuk ke Universitas Ternama di Austalia (Melbourne University, La Trobe University dan Monash University).  Semuanya berbasis nilai  SLTA.  Beliau  memastikan bila anaknya  ikut  kompetisi di Indonesia, tidak dijamin bisa lulus, apalagi di Universitas  ternama.   Saya lantas berfikir, bisakah hal begini kita terapkan di tanah air.?

Andaikata bisa, maka peristiwa rutin setiap tahun ini tidak membingungkan semua dosen, apalagi orang tua murid.  Jauh tempo, anak-anak  telah  mempersiapkan diri dalam kompetisi yang jujur,  adil dan berkualitas.  Mereka telah tahu diri dari  awal bila tidak belajar sungguh-sungguh.  Bandingkan dengan kenyataan saat ini.  Kita suruh   mereka  ikut testing, tapi  kemudian   para   orang tua  berjibaku   menebarkan   nomor testing ke berbagai orang dalam agar bisa lulus.  Belum lagi, yang punya kemampuan finansial  cukup,  akan ikut dalam kompetsisi kemampuan bayar (lelang kursi..?) untuk jurusan semisal fakultas  kedokteran. 

Pos terkait