Dialog itu juga merupakan simbol antara atasan dan bawahan, pemerintah dan rakyat, penguasa dan masyarakat sehingga tidak terdapat jurang pemisah atau kesenjangan. Atasan tidak merasa paling hebat dan benar yang pada gilirannya bawahan lebih percaya diri dan dapat lebih kreatif dan maju. Begitu juga penguasa dan pemerintah tidak akan menjadikan rakyat sebagai obyek dan sasaran yang harus dikuasai dan diintimadasi. Tetapi rakyat diberi kebebasan, dalam mengajukan pendapat dan menyalurkan aspirasi serta mendapatkan hak-haknya, saling bicara dan saling mendengar.
Budaya dialog, juga dalam kehidupan keagamaan sehingga terjalin kerukunan antar umat beragama dan interen umat beragama. Budaya dialog perlu ditumbuhsuburkan, sehingga tidak melahirkan kesombongan paham, sekte, aliran dan golongan atau merasa paham dan pendapatnya yang paling benar.
Bukankah menurut Islam setiap yang beriman itu bersaudara dan kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling kenal-mengenal, bukan untuk saling menyalahkan, saling memaki saling berperang dan saling membunuh.
Melalui dialog diharapkan praktek saling menuding kekurangan dan menonjolkan superioritas harus dikubur dalam-dalam, kendati perbedaan pendapat tidak dapat dibendung. Namun pertentangan yang membawa keretakan dapat dihindari. Bahkan berbagai perselisihan dan perbedaan tidak harus diselesaikan di sini, dan kini di dunia tetapi ada yang akan diselesaikan di hadapan Allah di hari kemudian. ***