Oleh: Tasrif Siara, Praktisi Komunikasi Massa
DEMONSTRASI mahasiswa biasanya selalu menampilkan sisi menarik, kadang menggelitik. Seperti yang dilakukan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka (Uhamka) saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, pada Jumat kemarin (14/9/2018), salah satu spanduknya tertulis: RUPIAH ANJLOK#JOKOWILENGSER
Tulisan ini sama sekali tak ada kaitannya dengan demonstrasi mahasiswa Jumat kemarin itu. Penulis hanya ingin berbagi cerita dan bertanya, apa sesungguhnya yang menarik dari demonstrasi mahasiswa itu? Jawabannya pasti banyak.Yang pertama; jika seratus mahasiwa yang demonstrasi, dipastikan akan sangat atraktif, heroik, penuh dinamika dan kadang jenaka, untuk itu menarik dinonton.
Kedua; jika seribu mahasiswa yang demontrasi, posisi anda harus hati-hati, karena bisa jadi anda akan menerima dampaknya, seperti mendapat lemparan botol mineral atau tersenggol mahasiswa yang terlalu semangat.
Dan ketiga; jika lebih dari seribu mahasiswa yang demontrasi maka anda harus berpikir untuk ikut terlibat di dalamnya. Dalam bahasa sosiologi disebut dengan bandwagon effect, atau efek ikutan. Jika tidak ikut, anda tidak akan tercatat dalam sejarah.
Bandwagon effect inilah yang terjadi hingga demontrasi mahasiswa jumlahnya menjadi ribuan pada tahun 1998 yang menandai awal reformasi dan menjungkal Soeharto dari singgasana kekuasaannya. Ketika itu seorang pecundang sekalipun dipastikan ikut dalam barisan demontrasi karena faktor Bandwagon effect. Itulah yang dijelaskan oleh sosiolog Peter L Berger yang mengatakan, simunafik dalam keadaan terjepit bisa menjadi pahlawan.
Tapi demo-demo mahasiswa jumat kemarin belum melahirkan bandwagon effect, jadi anda tak perlu ikut dalam barisan. Namun yakinlah suara hati anda akan terus diteriakkan mahasiswa karena mereka berjuang tidak untuk duduk dikursi kekuasaan.
Hal yang mesti dipahami, gerakan mahasiswa Indonesia memiliki matarantai dengan akar sejarah pergerakan bangsanya. Itulah yang membedakan antara gerakan mahasiswa di dunia ketiga dengan mahasiswa di negera Eropa dan Amerika Serikat.
Di Amerika dan Eropa, hampir tidak pernah kita menyaksikan ada demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa.Jika ada mahasiswa yang demontrasi menuntut pemerintah itu bisa dipandang sebagai tindakan campurtangan.Pertanyaannya kenapa ?karena mahasiswa di Eropa dan Amerika tidak terlibat dalam gerakan kemerdekaan bangsanya.
Sebaliknya di negara dunia ketiga, termasuk kita di Indonesia, mahasiswa berkontribusi besar dalam kemerdekaan bangsa. Jadi gerakan mahasiswa tidak bisa dipandang sebagai tindakan campurtangan, bahkan menjadi tanggungjawab moral untuk terus mengawal bangsanya dari perbuatan para pecundang seperti disebut oleh sosiolog Peter L Berger.
Demontrasi mahasiswa itu sesungguhnya sama statusnya dengan interupsi seseorang di ruang sidang atau rapat. Terkadang kalau aspirasi disampaikan secara normative, jarang sekali mendapat tanggapan, sebaliknya jika aspirasi itu sampaikan secara demontratif dan atraktif, dipastikan cepat sekali mendapat respon, minimal media massa ramai mewartakannya.
Tapi tidak sedikit dari demo-demo itu justru melahirkan masalah hingga yang muncul antipati dari rakyat, karena cenderung mengganggu.Jika begitu, adakah yang keliru hingga gerakan mahasiswa itu justru melahirkan masalah.
Menurut saya, dalam diri seorang mahasiswa itu melekat secara terintegrasi tiga dimensi yang tak boleh terpisah. Yang pertama dimensi jiwa muda, karena usia mereka memang masih muda. Yang kedua dimensi idealisme. Idealisme itu hanya ada pada mereka yang berjiwa muda. Salah seorang bapak bangsa, Tan Malaka mengingatkan: Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.
Dimensi ketiga yang melekat pada diri seorang mahasiswa adalah dimensi Intelektual, karena mereka sedang menuntut ilmu dan digodok di universitas.
Ketiga dimensi itulah yang membedakan antara seorang mahasiswa dan bukan mahasiswa. Jika hanya salah satu dimensi yang menonjol dipastikan akan menuai masalah. Seperti demonstrasi yang melahirkan anarki yang destruktif, dipastikan dimensi yang menonjol itu adalah dimensi jiwa muda yang terkadang memang mudah menyala. Gerakan model demikian ini yang banyak melahirkan antipati dari rakyat yang katanya aspirasinya sedang diperjuangkan mahasiswa. Model yang demikianj auh dari dimensi intelektual dan dimensi idealisme.
Jika ketiga dimensi itu terintegrasi, biasanya demontrasi mahasiswa akan menjadi menarik, atraktif, juga aspiratif. Apalagi mahasiswa generasi mileneal, dipastikan lebih berwarna dan berdinamika. Dengan begitu rakyat yang diperjuangkan seperti saya ini, akan merasa simpati dan merasa wajib ikut dalam barisan karena faktor bandwagon effect itu.
Tapi efek ikutan itu tak saya maksudkan untuk menumbangkan kekuasaan, termasuk tak berpikir seperti pada spanduk mahasiswa Uhamka Jakarta pada demonstrasi jumat kemarin, RUPIAH ANJLOK#JOKOWILENGSER. Entahlah jika anda berpikir seperti itu.***