Maleo (Macrocephalon maleo), satwa endemik. Kini masuk zona apendiks 1. Artinya kritis. Diambang punah. Kehadiran Area Maleo Center DSLNG – adalah ikhtiar kesekian kalinya yang dilakukan manusia. Sebelum burung ini akhirnya punah. Dan tinggal menyisakan cerita.
Yardin Hasan – Desa Uso – Banggai
—–
KAMIS pagi 27 September 2018, seorang kakek paruh baya, tampak duduk di tumpukan batu. Sesekali ia berdiri. Mendongak ke arah pintu masuk utama. Berdiri. Duduk lagi. Sambil terus menyemburkan asap keretek dari mulutnya. Seolah menyalurkan perasaan yang gelisah yang menjalari hatinya. Guratan gelisah tampak terlihat. Seolah ada tamu yang ditungguinya.
Dia adalah Mustar Hasan (54). Pagi itu, ia sedang menunggu rombongan dari BKSDA Sulteng. Hari itu ada hajatan pelepasliaran 20 ekor burung Maleo ke habitat aslinya di Suara Margasatwa Bakiriang. Mustar Hasan yang berasal dari Desa Tangkian ini, bersama koleganya Syahrul dan Jeki, keduanya warga Uso diserahi tanggungjawab menjaga keamanan kawasan Maleo Center DSLNG yang terletak sekira 45 kilometer arah Tenggara dari Luwuk. Kawasan yang ditempuh sekira sejam dengan kecepatan 60-80 kilometer per jam dari Kota Luwuk, tampak sunyi. Selain lolongan klakson kendaraan dari jalan raya yang berebut dengan suara debur ombak berdebam memecah kesunyian – selain itu tak ada hiburan selingan sekadar ”membunuh” waktu terhadap rutinitas yang sudah dijalani selama 5 tahun terakhir. Hasan Mustar sendiri telah bertugas di Area Maleo Center sejak didirikan pada 5 Juni 2013 silam. Mengenakan kaos merah lusuh plus topi yang menutupi rambut keperakan, ia mengitari kawasan seluas 7.500 meter persegi yang terletak di bibir pantai itu. Aktivitas itu terus dilakukan saban pagi untuk memastikan, tidak saja untuk keamanan dirinya namun juga ekosistem di dalam kawasan itu. Area Maleo Center memang didirikan atas prakarsa PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSLNG) Kabupaten Banggai.
Berdirinya kawasan ini ungkap Tig Djulianto CSR Manager PT DSLNG, adalah bentuk komitmen dan tanggungjawab PT DSLNG terhadap salah satu hewan endemik di Sulawesi Tengah yang kini diambang kepunahan. ”Diminta atau tidak. Penyelamatan ini harus diambil,” ungkapnya. Langkah penyelamatan melalui penangkaran adalah komitmen yang harus dilakukan tidak saja oleh pemerintah, korporasi atau kelompok masyarakat melainkan setiap individu. Terhitung sejak 2013, sejak kawasan ini berdiri sambung mantan jurnalis ini, telah melepas sedikitnya 68 ekor burung maleo ke habitat asli. Dengab sedikitnya lima kali pelepasliaran maleo. Pertama dilakukan 7 Oktober 2013 sebanyak 11 ekor anakan maleo. Menyusul 6 Agustus 2017 sebanyak 17 ekor anakan maleo. Kemudian 23 Oktober 2017 sebanyak 10 ekor dan berikutnya 20 Desember 2017 sebanyak 10 ekor serta27 September 2018 sebanyak 20 ekor anakan maleo. Lebih jauh Tig Djulianto, jika mengacu pada data International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), maleo termasuk dalam katagori satwa yang terancam punah. Di Kabupaten Banggai, keberadaan satwa ini tercatat di beberapa kecamatan, termasuk di Kecamatan Batui. Untuk membantu upaya menjaga populasi Maleo di habitat asli, sebuah upaya konservasi dilakukan oleh perusahaan ini mengoperasikan kilang gas alam cair di Desa Uso, pihaknya bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah dan peneliti dari Universitas Tadulako. Kerja sama tersebut tertuang dalam Perjanjian Kerjasama. Area konservasi berlokasi dalam pembangunan kilang gas alam cair Donggi Senoro, Desa Uso, Kecamatan Batui. Fasilitas konservasi seluas 7.500 m2 ini didirikan pada tahun 2013 dan diresmikan bertepatan dengan Hari lingkungan Hidup Sedunia. Secara resmi lokasi pelestarian burung Maleo diberikan nama “Maleo Center DSLNG”. Fasilitas ini dilengkapi dengan inkubator penetasan, inkubator pemeliharaan dan kandang pemeliharaan, hingga anakan Maleo siap untuk dilepasliarkan ke habitat asli. Upaya yang dilakukan PT DSLNG tersebut, membuat perusahaan ini diganjar dengan penghargaan, United Nations Environmental Programme (UNEP), World Environment Day 5 June 2013, dari Kepala BPLH Banggai serta CSR Award kategori Silver pada 28 November 2014 untuk katagori pelibatan dan pengembangan masyarakat dan lingkungan.