Tenda Biru, Tanda Cinta dari China

  • Whatsapp
IMG-20181104-WA0036
TENDA BIRU

Palu – Bencana di Sulawesi Tengah mengundang empati tak berhingga. Tak cuma dari Indonesia, bahkan mancanegara. 
 
Gempabumi, Tsunami dan Likuifaksi yang menghantam Palu, Sigi dan Donggala pada Jumat, 28 September 2018 lebih sebulan lalu, selain mengundang banyak simpati dari seantero daerah di Indonesia juga dunia internasional. Tak terkecuali dari China. Selain dari Pemerintah Republik Rakyat China, bantuan-bantuan dari individu pun berdatangan. Salah seorang di antaranya adalah Li Feng Pippa.
 
Pada Jumat, 28 September 2018, Pippa mendapat kabar terjadi gempabumi dan tsunami dahsyat di sepanjang pesisir Pantai Barat, Donggala, Sulawesi Tengah. Di Sirenja, salah satu wilayah di daerah pantai itu, Pippa punya kawan. Ia berusaha mengontaknya. Tapi gempabumi rupanya menghancurkan jaringan komunikasi.
 
Barulah pada 1 Oktober 2018 sekira pukul 01:39 Waktu Indonesia Tengah melalui jejaring percakapan Whatsapp, Pippa mendapat kabar dari kawannya. 
 
Isi Whatsappnya membuat bulu kuduk Pippa merinding;
 
“Rumah tidak bisa ditempati lagi jadi kami mengungsi di tempat adik yang tidak kena jalur lempengan. Sampai saat ini kami tidur di alam terbuka. Jaringan sangat sulit hanya ada di PMI dan pusat tanggap darurat. Saat ini data sementara: korban meninggal yg ditemukan 740 orang, korban luka 632 orang, korban hilang 46 orang, korban tertimbun 140 orang, rumah rusak 65.713 unit, 500 kepala keluarga terisolasi, pengungsi 48.025 jiwa. Jika ada yang mau salurkan bantuan tolong bisa melalui pesawat Hercules atau lewat jalur Poso. Mohon doanya Pippa.”
 
Pippa, 40 tahun, pun membuat desisi. Pada 4 Oktober, setelah melewati penerbangan 48 jam dari China Utara dengan sekali transit di Kuala Lumpur dan Jakarta, Pippa tiba di Bandar Udara Mutiara SIS Aljufrie Palu.
 
“Saya mendarat di bandara darurat. Banyak fasilitas belum berfungsi. Dalam perjalanan saya juga mendapat kabar bahwa banyak tim penyelamat non-pemerintah, tim penyelamat milik Pemerintah China juga sudah standby di Bandara Beijing menunggu pemberangkatan ke Palu,” tutur pria yang tahun ini memulai belajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
 
Pippa berkisah pada Pada malam 4 Oktober, penerbangan lebih dari 48 jam dari Cina utara, dan ditransfer di Kuala Lumpur dan Jakarta, Pippa tiba di Bandara Palu di mana masih dalam keadaan darurat, banyak fasilitas yang masih belum berfungsi dengan baik. Dalam perjalanan, ia mengetahui bahwa ada beberapa tim penyelamat non-pemerintah dalam perjalanan dari Tiongkok, tim penyelamat China, pemerintah China, juga stanby di bandara Beijing.
Berbekal petunjuk orang-orang China di Palu, Pippa bertandang ke Pantai Barat, Donggala. Ia mencari tahu keberadaan kawannya di Desa Tanjung Pandang, Kecamatan Sirenja. Ia mendapat kawannya mengungsi. Begitu pun warga desa lainnya.
 
Pippa kebingungan. Bagaimana ia bisa mendistribusikan bahan-bahan makanan ke banyak orang yang membutuhkan ini. Beruntung ia bertemu Jamaluddin, seorang anggota Polisi yang bertugas di sana.
 
“Saya kehilangan rumah karena gempa dan tsunami. Tapi saya tidak mungkin tinggalkan wilayah saya jauh-jauh karena saya bertugas di sini,” kata Pippa mengulangi pengakuan Brigadir Polisi Kepala itu.
 
Pippa mengisahkan, Polisi itu mengatur warganya. Dia juga mengatur pembagian bahan makanan yang masih ada 
 
“Kalau masih ada sepiring nasi, kita utamakan dulu orang tua, perempuan dan anak-anak,” kata Jamal pada Pippa.
 
Lelaki asal China Utara itu pun bergerak cepat. Ia menggalang bantuan dari pelbagai pihak. Utamanya dari warga China di tempat asalnya bahkan dari Malaysia dan Singapura.
 
Dalam dua minggu setelah gempa, Pippa mendistribusikan bantuan 2,4 ton beras, 400 boks mie instan, 300 potong kelambu, 113 potong peralatan perawatan kesehatan rumah, tenda, kotak sabun cuci. Selain itu adapula uang tunai sebesar Rp15 juta dari kantong Pippa sendiri ditambah dari lainnya sebesar Rp197 juta. Adapula bahan makanan lainnya senilai Rp82 juta. 
 
Selama dua minggu pertama, warga berdiam di dalam gubuk seadanya. Belum ada tenda-tenda bantuan yang datang. Bagaimana privasi suami istri dan bagaimana pula kenyamanan anak-anak? Pippa kemudian berpikir keras lagi. Ia ingin warga bisa berdiam di tempat layak.
 
Dari pengalamanya menjadi relawan di pelbagai tempat, ia tahu standar minimum untuk tenda bantuan bencana PBB memerlukan 3,5 meter persegi (37 kaki persegi) ruang hidup per orang, serta privasi.
 
Ia lalu ingat, setelah gempabumi Wenchuan pada 2018, Pemerintah China memproduksi tenda-tenda bantuan bencana dalam jumlah besar. Untuk diketahui gempa Wenchuan menewaskan lebih dari 100 ribu orang.
 
“Saya pun bermohon dan berkirim surat elektronik ke organisasi-organisasi sosial di tempat asal saya sampai kemudian ada pemberitahuan bahwa tenda-tenda untuk warga korban bencana Pantai Barat sudah dikirim,” tutur Pippa penuh semangat.
 
Akhirnya, warga pun bisa mendapatkan tempat tinggal nyaman.***

Pos terkait