Debat Paslon Capres dan Cawapres (Arena Mappangewang Yang Tak Bermutu)

  • Whatsapp

Sementara suku Buol di Sulteng, kata debat berarti bandaan. Tradisi Buol juga menilai buruk jika ada orang berdebat (berbantah-bantahan). Nai mo bandaan yang berarti jangan berdebat adalah mengundang ketegangan dan berpotensi menimbulkan konflik. Lalu, dalam budaya Kaili di Sulteng, nositangkari atau nosibanta adalah bermakna debat (beradu mulut). Oleh karena itu, ucapan nemo nosibanta atau nemo nositangkari adalah peringatan orang tua kepada orang yang berdebat. Hal itu berbeda dengan nosimpakanoa (meluruskan) yang lebih bermakna positif karena ada dialog dan nilai musyawarah di dalamnya.

Debat dalam pandangan Islam, bukan hal terlarang sepanjang bermanfaat dan bertujuan untuk syiar Islam. Namun, ketika debat sudah tidak lagi bermanfaat, maka ajaran Islam mengingatkan untuk dihindari. Nabi Muhammad pernah bersabda: Aku akan menjamin rumah di dasar surga bagi orang-orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar ….dst (Bukhari dan Muslim).

Dalam dunia pendidikan, debat dianjurkan bagi mahasiswa agar trampil berargumentasi dengan berbasis logika dan teori. Debat Konstitusi antar-mahasiswa adalah bagian proses pendidikan yang semata-mata bertujuan untuk meraih prestasi. Hal itu sangat berbeda dengan debat dalam konteks Pemilu yang nota bene meneguhkan keniscayaan adanya persaingan (kompetisi) untuk meraih kekuasaan. Lalu, karena kompetisi itu bertujuan untuk meraih kekuasaan, maka kampanye dalam bentuk berpotensi muncul ekspresi emosional untuk saling menyerang pendapat.

Debat pertama Capres dan Cawapres pada tanggal 17 Januari 2019, tertangkap sebagai arena kampanye emosional (mappangewang), meskipun tensi emosionalnya tidak setinggi debat antara Trump vs Hillary Clinton pada Pemilu 2016 di AS lalu. Lebih dari itu, debat yang tampak juga tidak bermutu. Sebab, publik masih mendengar adanya jawaban yang bias (tidak pas) dari Paslon atas pertanyaan yang diajukan Paslon yang lain. Demikian pula sebaliknya saat sesi tanya-jawab berlangsung.

Harus diakui, sejak KPU menetapkan Paslon peserta Pemilu, sebagian besar pemilih sudah teguh menentukan pilihannya baik berdasarkan akal sehat maupun berdasarkan hati, bahkan mungkin berdasarkan kedua-duanya. Kalaupun ada swing voter, prosentasenya juga relatif kecil.

Pos terkait