Stop Ekspor Benih Lobster dan Skenario Budidaya

  • Whatsapp

DR. Hasanuddin Atjo,  M.P,  Kepala Bappeda Sulteng

POLEMIK  pro dan kontra membuka kembali ekspor benih lobster, kini telah menemukan titik terang.

Bacaan Lainnya

Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP) Edy Prabowo memberi sinyal untuk tidak membuka kran ekspor benih lobster dan akan kembangkan budidaya.

Sinyal ini lahir setelah mendapat sejumlah masukan baik langsung maupun tidak langsung seperti dari media cetak, elektonik, sampai ke media sosial. Serta melakukan kunjungan lapangan ke NTB di lokasi budidaya masyarakat.

Sinyal ini mendapat dukungan kuat dari sejumlah pemangku kepentingan karena Menteri Edy dengan baik telah menggunakan pendekatan Penta Helix, dalam pengambilan sebuah keputusan penting terkait dengan pengaturan dan pemberdayaan masyarakat.

Penta Helix adalah sebuah pendekatan yang telah digunakan di negara maju dengan melibatkan lima unsur yaitu academic, bussiness, community, goverment dan media atau ABCGM dalam pengambilan sebuah keputusan penting. Sebelumnya kita hanya mengenal Thre Helix atau ABG yaitu akademic, bussiness dan goverment.

Pendekatan inilah yang menjadi pembeda cara pengambilan keputusan dari kepemimpinan kelembagaan KP sebelumnya. Seyogianya proses pengambilan keputusan di tingkat pusat maupun di daerah terkait dengan masyarakat dan tujuan keberlanjutan, sudah harus dilakukan dengan cara-cara seperti ini.

Ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan budidaya lobster di Indonesia. Pertama bagaimana meningkatkan kelangsungan hidup lobster dari fase nauplisoma sampai ke juvenile (lobster muda), mengingat pembenihan artificial belum dikuasai. Kedua bagaimana transformasi budidaya ke masyarakat. Ketiga, bagaimana sistem pengendalian monitoring untuk poin pertama dan kedua.

Sejumlah referensi mengemukakan di alam sebelum menjadi lobster dewasa ada empat fase siklus hidup lobster yaitu Nauplisoma (telur yang baru menetas 3-5 hari), fase berikutnya Fillosoma (5 – 7 bulan), kemudian menjadi Puerulus (7-14 hari) dan selanjutnya menjadi Juvenile (lobster muda).
Puelerus dan Juvenil inilah yang ditangkap nelayan di pesisir untuk diperdagangkan dan dibudidayakan.

Kelangsungan hidup dari fase Nauplisoma ke lobster dewasa kurang dari 1 persen, bahkan ada yang menginfokan kurang dari 0.1 persen.

Fase Nauplisoma dan Fillosoma adalah yang paling kritis karena masih bersifat planktonik atau melayang sehingga sangat mudah dimangsa predator. Terkait dengan hal itu sebaiknya KKP dan dinas daerah bersama UPTnya dengan infrastruktur perbenihan yang dimiliki memprogramkan pembesaran benih fase Fillosoma yang ditangkap di alam sampai ke fase Juvenil, untuk selanjutnya dibudidayakan dan direstocking di kawasan reserfat sebagai calon induk. Nauplisoma yang lolos ke pantai menjadi Puelerus dan Juvenil menjadi hak nelayan untuk menangkap dengan cara berkelanjutan.

Pendekatan cluster dalam transformasi budidaya sangat penting agar kendali input produksi, transformasi inovasi dan teknologi serta sistem pengendalian menjadi lebih terukur dan efisien. Karena itu kelembagaan pembudidaya harus kuat.

Saat ini landasan pembangunan di Indonesia berbasis transformasi digital dan tataruang. Karena itu pengendalian penangkapan benih dan pengembangan budidaya dan pemasaran dari komoditas lobster Indonesia harus berbasis transformasi digital dan tataruang. Harapannya komoditas lobster ini nantinya bisa menjadi komoditas yang pengelolaannya dapat berkelanjutan sesuai harapan. SEMOGA. ***

Pos terkait